Aku berjalan semakin menjauh dari mereka. Tangan Delon ku lepaskan, sementara tatapannya masih melekat ke kedua mataku. Kak Elios dan Kak Fifi hanya memandang, tubuh mereka kaku, seakan ingin melakukan sesuatu, namun tidak tahu apa yang benar-benar harus mereka lakukan. Keduanya hanya menatap aku dan Delon yang semakin hilang dari pandangan mereka.
Air mata dengan lemah kembali jatuh di pipiku yang sudah kehilangan warna. Bahkan jika aku mencoba untuk jauh dan sendiri, dia selalu datang dan membuat bayangannya kembali. Aku bosan dengan hal ini. Aku mengigit bibir berusaha meredam suara, agar setidaknya mereka tidak curiga. Wajah Delon penuh tanda tanya, ia bahkan juga bingung apa yang harus dia lakukan. Ia hanya menatapku kebingungan dan sesekali menarik lengan bajuku agar aku tak kehilangan arah pulang.
"Kay lo gak papa?" ucap Delon setelah sekian lama hanya menaruh pandang lembut ke-kedua mata ku.
Aku mengangguk kecil, sementara pipiku sudah basah akan air mata. Aku kembali mengikuti langkah Delon melalui bekas pijakan sepatunya. Delon nampak tak puas dengan anggukkanku, ia kemudian menghentikan langkah dan membuatku terbentur ke tubuh jakungnya.
"Sebentar lagi sampe," kata Delon mengisyaratkan bahwa tak lama lagi aku bisa melepas bebas tangisku. Entah ini mimpi atau kenyataan, tapi aku ingin segera hilang dari dua hal itu.
...
Mama Delon sudah menunggu di halaman depan dengan ponsel di samping telinga. Setelan bajunya seperti sudah siap untuk naik taksi dan turun di tempat kerja. Raut wajahnya nampak kesal namun sesegera setelah dia melihat aku berdiri dibelakang Delon dengan air mata, wajahnya langsung berubah kawatir. Dia menarikku ke dalam dekapannya dan melirik sinis ke arah Delon seperti berkata "Kamu apakan Kayra?" Delon hanya menggeleng kepala menolak keras anggapan itu.
Dekapannya terasa hangat, hingga tak terasa aku sudah hanyut dalam alam mimpi. Aku tertidur.
...
Aku terbangun. Wanita di samping ranjang ku sepertinya tidak asing. Ah benar, aku sedang dirumah Delon.
"Hai Kay,"
Aku mengangkat badanku dan segera berpaling mencari tas dengan ponsel di nakas kecil samping ranjang. Aku lupa mengabari mama.
"Nggak usah kawatir, mamamu sudah tante beritahu."
Aku mendengus lega. Hari ini hari kedua setelah hari perpisahan. Bahkan aku tak tahu rasanya bagaimana hari kemarin sudah berlalu. Yang pasti aku akan terlambat lagi, jadi tak ada gunanya ke sekolah. Lebih baik bolos lagi saja.
"Delon mana tan?"
"Dia sudah sekolah, semalam tante bertanya tapi Delon tidak tahu apa-apa,"
"Haha," tawa datarku, menolak kenyataan bahwa pasti sebentar lagi mama Delon akan bertanya mengapa aku menangis.
"Tante mau berangkat kerja, mau sekalian tante hantar? Tapi naik taksi"
"Ah nggak usah tante, Kayra mau naik bis saja sekalian nanti mampir rumah teman,"
Batinku sedikit tersenyum lega pasalnya mama Delon tidak menanyakan apa yang membuatku menangis hari itu.
"Tante harus cepat-cepat pergi ke kantor, kamu gak papa Tante tinggal? Bentar lagi Delon juga pulang kok," jelas mama Delon sembari mengusap lembut rambutku.
"Kalau kamu pengen pulang tapi Delon masih belum balik, kamu kunci aja pintu depan trus taruh di bawah pot anggrek," lanjut mama Delon. Ia mengambil sebuah kunci dari tas hitamnya dan meletakkannya di nakas samping tempat tidur.
Aku mengangguk dan mengamati mama Delon yang semakin hilang dari pandanganku. Tubuhku kembali ku jatuhkan ke tempat tidur. Pikiranku kembali melayang-layang mengingat kejadian kemarin hari. Mungkin Delon sudah bercerita ke mama-nya sehingga tante tak lagi menanyakan hal tersebut kepadaku.
Aku mengambil ponsel, mengamati pesan yang terus masuk dari Octa. Ah benar, ini hari kedua aku tidak berangkat sekolah, anak itu pasti sudah sangat kawatir tentang keberadaanku. Apalagi aku tak membalas pesannya, meresponnya saja sama sekali tidak kulakukan. Ugh aku mengacak rambutku dengan kesal dan melempar ponselku hingga memantul ke lantai. Untung saja uang ku tak sia-sia untuk membeli ponsel yang cukup tahan banting. Batinku sudah penuh akan Octa, mengapa aku harus mengacuhkan dia, lalu sekarang bagaimana aku harus menanggapinya. Meskipun aku tau Octa adalah sahabat terdekatku namun Octa juga manusia dan dia berhak saja marah kepadaku. Aku juga tidak bisa menyalahkannya.
Aku bangkit dari ranjang, mengambil ponsel yang masih tergeletak dengan anggun di lantai dan bergegas melangkahkan kaki keluar kamar. Aku mengambil segelas air putih di dapur dan meminumnya hanya dalam sekali tegukan. Aku baru ingat bahwa aku hanya makan roti dan minum latte saja kemarin, pantas perutku terasa sedang disko. Kemudian aku melangkah meraih daun pintu kulkas. Disaat tersebut pintu rumah berbunyi yang membuatku sedikit terkejut. Aku menoleh dan mendapati Delon berjalan masuk menggendong tas sekolahnya. Tunggu, tapi ini masih jam 11 pagi.
"Kok kamu udah pulang?"
"Iya, guru ada rapat"
"Oh ya? "
Delon sedikit mengangguk dan membuang muka, kemudian melemparkan tasnya ke sofa. Menyadari aku yang sedang mengeksplorasi isi kulkas, Delon segera bertanya.
"Lo cari apa?"
"Gak kok hehe," Menyadari Delon menghadap kearahku aku segera membanting pintu kulkas dan kembali meraih segelas air putih yang tadi.
"Lo laper?"
Aku hanya tersenyum sok manis menanggapi Delon, berharap dia peka dan menyadari bahwa iya aku sangat lapar.
"Mama jarang bikin sarapan, kalo mau makan biar gua beliin mi instan di warung depan,"
"Gak usah kok," elak ku, maklum sekali kali jaga image di depan saudara sendiri.
"Dih gausah bohong lo,"
Ucapnya setelah ia mendengar suara perutku yang mendadak ingin di tinju.
Kemudian masih dengan baju seragamnya, Delon berjalan keluar sambil mengenakan sepasang sandal. Ia segera kembali membawa dua bungkus mi instan dan melemparkannya ke arahku."Bikinin gua sekalian,"
Eh buset ternyata ada maunya juga ni bocah. Tapi tenang, keahlianku adalah membuat mi instan. Chef Arnold sama chef Juna mah lewat.
*chef arnold & chef juna lewat beneran di depan rumah*
Aku dan Delon sama-sama menyantap mie instan berperisa ayam bawang yang kebetulan favorit kami berdua. Delon nampak menjaga jarak, mungkin ia sedikit canggung dan tak nyaman atas kejadian kemarin hari. Namun ia tak berani menanyakan, menengok ke arahku saja dia enggan.
Suasana semakin canggung, yang terdengar hanya suara mie instan yang sedang dicerna oleh mulut masing-masing. Hingga akhirnya Delon mencoba memberanikan diri bertanya kepadaku.
"Lo kemarin ga papa?" Aku yang masih sibuk menyeruput mie pun terkejut hingga hingga sedikit tersedak.
Aku menoleh ke arahnya dan mengangguk kecil menandakan bahwa aku tak apa, setidaknya wajahku menunjukkan aku baik-baik saja. Delon terlihat tidak puas dengan jawabanku namun ia segera berlalu dan meneguk kuah mie instan itu dari mangkuknya.
.....
author minta maaf atas keterlambatan ini huhuuuu :'((( tampar saja author ini :'((
thank you yang masih terus support, semoga kedepannya bisa lebih rajin lagi buat update okee :))))) love youuu all (^з^)-☆Chu!!