Setengah hari kuhabiskan dengan mencuci mangkuk mie, melihat Delon yang sedang sibuk sendiri memainkan ponselnya, dan berbaring di sofa. Mama pasti sangat kawatir namun entah mengapa ia tak menghubungiku, setidaknya menanyakan bagaimana keadaanku. Sudahlah, mungkin mama sedang sibuk juga. Kegiatan sehari-hari menjadi seorang ibu rumah tangga juga sudah sangat melelahkan. Aku pernah merasakannya sekali ketika mama harus pergi menemui temannya di luar kota selama beberapa hari. Mulai dari mencuci pakaian, membersihkan rumah, dan memasak aku lakukan sendiri. Sehingga aku pun menyadari bahwa hal-hal tersebut tidak mudah dan membutuhkan banyak energi.
Aku mengambil tas di nakas kamar. Bergegas keluar mencari batang hidung Delon untuk kupamiti. Ternyata memang dia tidak bergerak sedikitpun. Wajahnya terlihat gusar dengan headset menempel di telinganya. Kedua ibu jarinya ia gerakan dengan cepat diatas layar ponsel yang kelihatannya pun sudah lelah karena Delon tak memberikannya waktu istirahat.
"Aku pulang dulu," ucapku sambil berjalan mendekati Delon dan menarik lepas salah satu kepala headsetnya. Delon mengangguk tanpa menunjukkan sedikit kekecewaan karena aku telah mengganggu satu detik dari hidupnya dalam bermain game.
"Titip salam buat tante ya," ujarku sambil berjalan membuka pintu rumah. Delon tak merespons namun jelas kelihatan dari raut wajahnya bahwa ia sedang berusaha mendengarkan perkataanku.
Aku menghilang dari pandangan Delon. Sebenarnya Delon tak begitu menggubrisku juga sih. Untung terminal hanya beberapa meter dari rumah Delon, sehingga aku bisa dengan cepat hinggap di bangkunya dan menunggu bus untuk datang.
...
Sudah pukul 2 siang, batinku masih galau memikirkan Octa. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk singgah sebentar, dan meluruskan masalahku dengan dia. Gadis itu tak pernah marah denganku, hanya sekedar gengsi berbicara ketika aku membuatnya tak enak, itupun hanya sekitar 5 menit.
Aku berjalan memasuki gerbang perumahan yang cukup dijaga ketat oleh seorang satpam yang masih cukup muda. Sapaan saja sepertinya sudah cukup untuk membuktikan bahwa aku tak ada niat buruk sedikitpun di perumahan ini.
Rumahnya terlihat sepi meskipun banyak anak-anak kecil yang sedang berlarian di jalan beton di depan rumahnya. Kedua orang tua Octa memang orang yang sibuk. Bahkan Octa sudah melepaskan sikap manjanya ketika ia masih kelas 1 SD, karena dia tahu orang tuanya bekerja keras untuk menghidupinya.
Lampu depan masih dia biarkan menyala meskipun di tengah hari seperti ini sementara aku di depan gerbang masih sempat galau memikirkan apakah aku harus memencet bel atau tidak. Aku mengumpulkan keberanian sekaligus rasa bersalahku. Perlahan ku tekan tombol itu sehingga muncul bebunyian yang mungkin Octa saja sudah bosan untuk mendengarkannya.
Tak habisnya aku memberi diriku pujian untuk setidaknya membuatku sedikit lebih tenang. Sementara aku menunduk menunggu seseorang terpanggil karena suara bel itu, seseorang mendekatiku dengan dingin sambil membuka gerbang pintu rumahnya. Oke ini bukan Octa yang sebenarnya, dia biasanya sudah melompat girang dengan rambut panjang yang melambung-lambung. Aku paham dia seperti ini, sehingga aku tersenyum kecil dan melambaikan tangan menyambutnya.
"Masuk," ajaknya tanpa menampakkan sedikit ekspresi, matanya layu seperti habis menamatkan satu season drakor dalam satu malam.
Aku spontan mengikutinya. Rahangku seperti dikunci sehingga aku terdiam dan sulit untuk mengatakan sepatah kata saja. Meskipun Octa hanya sendirian dirumah namun rumahnya nampak bersih dan tertata rapi. Dia memang gadis yang rajin.
Ini sudah lebih dari lima menit dia menatap sudut dengan tatapan kosong sembari duduk di sofa seberang. Entah mengapa aku pun melakukan hal yang sama. Mengapa ini sungguh berbeda dari dulu?
"Mau minum apa?" kata Octa dengan suara seraknya sedikit melepas keheningan dan kecanggungan diantara kami berdua.
"Eh hm terserah aja Ta," jawabku cukup gugup.
Sementara Octa mengangkat diri dari sofa dan berjalan menuju dapur, aku kembali masuk kedalam ruang lamunanku. Kay, kamu harus berani, ini salahmu sendiri dan kamu harus meminta maaf ke Octa. Begitu kira-kira batinku yang mencoba berucap melalui kata-kata dikepalaku. Aku tahu benar tentang hal itu, namun masalahnya bagaimana aku harus memulainya. Keningku berkerut dan beberapa helai rambut mulai ku tarik-tarik dengan frustasinya.
Octa datang, menyuguhkan segelas milkshake coklat dingin. Dan membawa satu gelas lain berisi kopi instan. Mataku dengan antusias menatap arahnya sambil tersenyum. Batinku berkata "ini baru Octa yang asli". Octa tak mampu menahan senyumnya, garis bibirnya naik sementara matanya nampak sedikit berbinar. Aku cukup lega, aku akan mulai berbicara dengannya.
...
Begitulah aku menceritakan runtutan cerita yang terjadi selama hari perpisahan hingga kejadian kemarin. Octa terlihat lebih tenang dan raut wajahnya lebih halus setelah mengetahui apa yang terjadi padaku. Namun ia masih mempertahankan sikap gengsinya, sekedar menunjukkan bahwa dia juga bisa marah.
"Trus sekarang lo mau gimana sama kak Elios? Bukannya lebih baik lo ngelurusin masalah ini sama dia juga?"
"Aku belum kepikiran hal itu Ta, masih sulit karena kejadian kemarin,"
"Lo juga mau transfer ke Korea kan? Kasihan kak Elios juga kalo mendapati lo tiba-tiba hilang dari pandangannya,"
Oke jadi Octa sangat membantu. Selama ini yang kupikirkan hanya untuk segera mengilang darinya dan melupakan segala hal tentang Elios tanpa memikirkan bagaimana yang akan Elios rasakan setelah hal itu terjadi. Kalau diingat-ingat juga, aku tidak pernah memberinya kesempatan untuk berbicara. Mulutnya seperti ku bungkam hanya agar aku tak sakit hati lagi. Aku telah egois.
"Ngomong-ngomong, aku dimaafkan gak nih?" bujukku kepada Octa di sela-sela meminum kopinya. Ia sedikit tersedak sambil masih menunjukkan wajah gengsinya. Sontak aku tertawa kecil melihat wajah nya yang terkena cipratan air kopi. Octa pun tak bisa menahannya kemudian ia melepaskan tawanya. Matanya nampak semakin berbinar, namun masih sedikit iba atas kejadian yang terjadi padaku.
Hari itu berakhir dengan Octa memamerkan beberapa koleksi film terbarunya. Kami memutuskan untuk menonton beberapa episode sebelum matahari mulai beranjak pergi.