49 [Octa]

956 37 7
                                    

Acara perpisahan kelas 9 hampir tiba. Kumpul OSIS pun diadakan untuk menyusun kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan selama perpisahan. Kegiatan yang sudah jadi tradisi bertahun-tahun adalah secret admirer dimana anak-anak "pemalu" tidak takut buat nge confess perasaan mereka lewat bunga yang di titipkan di sebuah kotak di sudut bangunan sekolah dan yakin 100% tidak akan ada yang tahu.

Hal ini baik juga bagiku, trauma dari Kina masih sedikit membekas pada diriku meskipun kini Kina sudah keluar dan bersekolah di tempat yang lain. Tapi, kalau secret kurang greget. Si cacing alaska pasti akan marah kalau aku menyatakan cinta lewat secret admirer.

Seperti biasa, aku menatap Elios yang sedang memberi penjelasan tentang tujuan rapat yang sedang dilakukan. Aku tersenyum kecut, antara wajah ganteng Elios yang bikin seneng dan dilema pernyataan cinta yang di katakan Octa sebelumnya. Aku mendengus kesal, dan Octa yang selalu menempel padaku bak kutu di tubuh dugong. Tapi aku bukan dugong ya, ini cuma perumpamaan. Octa menatapku sedari tadi. Dia mendekatkan mulutnya ke telingaku. Aku pun berjaga-jaga, pasalnya anak ini pasti awalnya bener tapi akhirnya bikin kesel.

"Woi daripada lu liatin dia mulu sampe entar dunia ancur di makan rayap mending lu omong sama dia dah kalo lu suka"

Betul kan, Octa emang gobloknya murni. Mungkin mamanya ngidam telur kodok selama hamil Octa. Dia mendekatkan mulutnya ke telingaku, tapi volume suara ngomong dia kencengnya sama kaya orang ngomong biasa, gak bisik-bisik.

Aku mendorong kepala Octa sekuat tenaga. Semua anggota OSIS yang berkumpul menjadi melihat ke arah aku dan Octa. Wajah mereka antara marah, najis dan bingung. Marah karena mengganggu Elios ngomong, bingung karena kelakuan edan Octa ^aku enggak^, dan najis melihat betapa aduhai bentuk Octa yang terbujur lemah di lantai berkat dorongan powerful dari tanganku ke kepala Octa.  Sementara itu aku mencoba meyakinkan mereka.

"Dia bukan temenku kok hehe, gak kenal siapa sih? Anak baru ya." (Amnesia absurd buatan jilid 2)

Wajahku memerah. Kak Fifi yang masih menatapku ku dengan tajam dan terlihat seperti mencerna kata-kata ku mulai tersenyum.

"Haha" ketawanya sumpah datar seperti joke guru penjasorkes author.

"Gausah bercanda!" Bentaknya disertai perubahan 360° dari tersenyum menjadi wajah garang kak Ros.

"Ah maaf kak" tubuh ku sedikit meloncat karena kata-kata kak Fifi. Sementara itu, kak Elios hanya tersenyum kecil melihat tingkah laku ku yang dia anggap lucu. Padahal diriku sendiri saja menganggap bahwa aku freak karena hal konyol yang Octa barusan lakukan.

Seluruh pengurus OSIS kembali fokus, begitupun Elios yang kembali melanjutkan pembicaraannya. Tapi demi apa. Rasanya ingin sekali mengumpat dan teriak keras. Tapi apadaya cuma bisa mengumpat dalam batin. Octa. Anak itu masih berbaring di lantai karena dorongan yang aku lakukan. Ya Tuhan, apa salah hamba mu ini, kenapa teman dekat ku satu-satunya bertingkah seperti ini.

"Ta, sst Ta!" Panggil ku sambil berbisik-bisik.

Octa menoleh.

"Apa? Kak fifi mana?" Tanya Octa. Masih pada posisi yang sama.

"Udah kesana kali dari tadi ah, kamu ngapain sih masih kek gitu. Tau nggak, bentukanmu kayak dugong terdampar" celoteh ku sembari tertawa kecil.

"Eh ini tuh strategi gua biar ga ikut dimarahin tauk Kay." Ujarnya sambil bangkit berdiri dan duduk disampingku.

Aku hanya bisa tertawa menanggapi perkataan Octa. Ya. Octa memang orang yang paling bisa mengubah mood ku. Itulah alasannya aku tidak akan pernah melupakan dia, meskipun kadang tingkah lakunya membuatku ingin menelan batu sungai.

~♡~

Aku berjalan keluar, disertai Octa yang berada dibelakangku yang entah mengapa enggan berjalan beriringan denganku. Sesekali aku menoleh ke arah Octa. Anak itu menunduk sambil memainkan jarinya. Aku sengaja berhenti untuk menyamakan langkahku dengan Octa. Octa tidak menyadari jika aku berhenti. Octa terus berjalan dan melewatiku sampai kira-kira 3 meter, sampai akhirnya dia sadar dan menoleh kearahku.

"Kamu kenapa sih Ta?" Tanyaku sambil berjalan ke arah Octa.

"Gapapa kok," ucapnya sambil kembali menundukkan kepalanya.

"Ih gapapa gimana orang kamu keliatan lesu gitu," bantahku.

"Gua gapapa Kay sumpah, udah gih pulang" jawabnya sambil agak sedikit marah.

Aku menuruti perkataannya. Kami berjalan bersama menuju halte bus. Pandanganku tak lepas dari Octa. Jarang-jarang anak se-ceria itu menjadi lesu seperti ini. Di sinilah aku mulai merasa kawatir dan terus menanyakan hal yang sama kepada Octa. Ya meskipun Octa juga membalasnya dengan kata-kata yang sama juga.
.
.
.

"Ta... kamu kenapa sih?" aku kembali menanyakan pertanyaan ini yang sebenarnya aku juga sudah hampir bosan untuk mengatakannya.

"Ih apa sih ni bocah tanya mulu dari tadi bikin emosi pacar ji chang wook naik." Elak Octa.

"Lah kamu daritadi juga gak jawab pertanyaan ku sih"

"Kan udah ku jawab Octa sayangku, gua gapapa,"

"Tau gak, kamu kalo bohong itu ketahuan banget. Jadi mending gih kasih tau aku kamu kenapa sebelum nanti aku tau sendiri terus kamu malu sendiri juga,"

"Yaudah kalo itu emang mau lo. Gua sedih Kay, gua sedih. Ini hampir perpisahan dan berarti lo juga hampir pergi dari Indo kan," kata Octa sambil kembali menundukkan kepalanya.

"Unch Octa..." balasku sambil memberantakkan rambut pendek Octa yang ia gerai.

"Sumpah gua sedih Kay, gua ga bisa bayangin lagi entar kalo lu pergi gua disini sama siapa." Kata-kata yang Octa ucapkan perlahan membuat kedua mataku berkaca-kaca. Begitupun Octa.

"Octa.. kan masih banyak temen-temen kamu yang lain. Toh kalo mereka gamau, kamu bisa kenalan sama yang lain. Kamu kan supel Ta, nggak kayak aku." Ujarku menanggapi perkataan Octa.

"Justru seharusnya yang sedih aku Ta, aku gak supel, aku anaknya ansos banget. Aku takut kalau di Korsel nanti aku bakal susah cari temen," tambah ku.

Octa hanya menoleh kearahku dengan tatapan penuh kegelisahan.

"Kay.." ucapnya.

"Jadi kamu gausah sedih, kalo kamu sedih entar aku jadi tambah sedih Ta."

"Yaudah deh, gua ga bakal sedih lagi!" Kata Octa sambil menepuk bahu ku. Kini Octa tersenyum dan tatapannya sudah lebih baik.

Aku paham benar sifat Octa. Dia tipe orang yang tidak pernah mengeluh. Dia selalu saja bisa menyembunyikan perasaan sedihnya, walau kadang masih bisa terlihat kalau dia sedih. Tapi dia memang buka tipe yang caper atau melankolis atau apalah itu. Dia lebih suka tertawa atau bikin orang tertawa daripada menangis dan akhirnya banyak menarik perhatian. She hates that kind of condition. Aku beruntung bisa mengenal Octa.

..
Bagi kalian yang kepo akan sosok Octa bisa resapi chapter ini okee..
Gbye hv fun readerss.

@girlsya

WHY ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang