I will never say goodbye

1.3K 37 5
                                    

Hari-hari sulit UKK telah kulalui. Aku berdiri termenung di lantai dua sekolahku. Cahaya matahari menyilaukanku, seakan mengajakku untuk bangkit dari ketermenungan yang telah ku lakukan.

Mataku menatap di salah satu sudut sekolah. Ruang itu. Ruang dimana aku dan Kina salih mempertahankan argumen dengan cara berkelahi. Ruang itu. Mengakhiri perbuatan kejam Kina yang selama ini dia lakukan. Aku tersenyum bangga mengingat kejadian hari itu.

Mataku bergerak perlahan, mengikuti seorang laki-laki yang berbadan tinggi dan tampan. Kalian pasti tau..

Elios. Kepalaku menunduk, mencoba mengungkapkan apa yang sedang ada dalam benakku sekarang. "Akan kukatakan," ucapku dalam hati. Kepalaku menengadah. Menatap langit dengan mata yang sulit membuka karena cerahnya matahari.

"Aku tidak akan pernah mengucapkan selamat tinggal kepadanya," bisikku seakan berbicara kepada Tuhan yang ada diatas sana dan berharap ia dapat mendengarnya.

"Akan kutegaskan sekali lagi!" Ujarku sambil menatap tajam Elios dari lantai dua sekolah yang sedang berjalan melewati koridor.

"Aku tidak akan mengucapkan selamat tinggal kepadanya!!" Teriakku sambil menunjuk Elios. Mendengan suaraku yang seperti gemuruh yang membuat telinga semua orang sakit, Elios menatap kearahku. Aku segera menenggelamkan diri di balik tembok pembatas.

"Ash, aku ngapain sih," pikirku sambil memukul kepalaku menggunakan tangan. Aku melihat sekitar dari balik tembok. Hufft, aku menghela nafas lega. Untung saja, tidak ada seorang pun di lantai dua kecuali aku. Jika pun ada satu orang. Aku bakal malu setengah mati.

"Kay lu ngapain?" panggil Octa yang muncul dari lorong disebelah kanan. Aku melihat kearahnya dengan kesal, takut jika Elios masih menatap kesini lalu dia akan mengetahui bahwa aku lah yang telah berteriak-teriak.

"Lu ngapain sih, ayuk pulang," Tangan Octa kutarik untuk bersembunyi di balik tembok.
"Diem," bisikku sambil menempelkan jari telunjukku di bibir Octa.

Kedua telapak tanganku ku letakkan di atas tembok pembatas. Kepalaku kunaikkan sedikit, sehingga kedua mataku dapat mengitip apakah Elios masih melihat kearah sini. Hufft,lagi-lagi aku menghela nafas lega. Elios sudah tidak ada lagi di tempat itu. Sementara itu, Octa menatapku keheranan.

"Lu abis ngapain sih, nyolong yak? pake ngintip-ngintip segala," tanya Octa.

"Bukaannn, ah udah yuk pulang," jawabku sambil meraih tangan Octa untuk berdiri dari tembok pembatas itu.

Belum sampai berdiri, aku melihat Elios persis di depan mataku sedang berdiri dan memperhatikan aku dan Octa yang sedari tadi bersembunyi dibalik tembok pembatas.

"Astaganaga," ucap ku kaget. Wajahku memerah seperti bunglon yang menginjak saus tomat. Tau kan?? mimikri.Ini orang apa jin ya, tiba-tiba ngilang eh ternyata disini.

"Kay, Ta, kalian ngapain?", tanya Elios penasaran.

Dengan sengaja aku menjatuhkan pensil yang sedari tadi ada disaku-ku. Lalu mengambilnya dengan gemetar sambil berkata. "I-ini kak, pe-pensil aku jatuh," ucap ku.

"I-iya kak jatoh," Octa yang tidak mengerti apapun pun sengaja ikut menjatuhkan uang dari sakunya dan berkata sedemikian.

"Oh," jawab Elios singkat. "Yaudah ayok pulang." ajaknya.

Aku dan Octa berdiri dengan wajah yang gugup. Sebenarnya aku juga heran, kenapa Octa tiba-tiba ikut-ikutan bohong. Dan sekarang wajahnya lebih gugup daripada aku. Aku heran dengan cacing Alaska itu.

-♡-

Aku menjatuhkan diriku di ranjang. Aku terus berpikir, apa Elios benar-benar tau kalau aku yang berteriak seperti itu, atau malah dia nggak tau apa-apa. Huuuffft, aku menghela nafas.

Aku meraih ponselku yang ada di meja belajar.

WHY ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang