40

1.1K 44 2
                                    

Aku berjalan ke kelas Octa. Melewati koridor yang biasanya ramai oleh murid-murid yang bersantai sehabis sekolah. Aku berhenti sejenak melihat mading sekolah. Memang tidak tertarik, tetapi kadang-kadang terdapat puisi yang dibuat oleh anonymous dan sangat mirip kisah hidupku. Itu yang membuatku penasaran dan berdiri agak lama di mading sekolah.

Sudah beberapa menit aku membaca setiap bait puisi, aku berpaling. Namun aku tertegun dengan Arka tepat dihadapanku. Ia membawa satu bucket bunga.

"Em, Kay," kata Arka. Ia terlihat sangat gugup dengan keringat yang perlahan mulai membasahi wajahnya. Aku membalasnya dengan mengangguk-angguk.
"Kamu belum mau pulang?"
"Ini baru mau ke kelas Octa Ka"
"O-oh".

Aku memandang Arka dengan kebingungan. Dilihat-lihat wajahnya lumayan tampan juga. Apalagi dengan kulit putih dan rambut yang agak kepirang-pirangan. "Seperi member boyband Korea," pikirku. Namun ia terlihat sangat nervous, ia nampak sedang bersiap-siap untuk mengatakan sesuatu tapi tidak berani untuk mengatakannya. Aku kembali melihat-lihat mading selagi menunggu Arka untuk berbicara. Samar-samar aku melihat bayangan Arka dari pantulan kaca mading. Ia mengambil nafas panjang-panjang. Lalu memanggil namaku lagi.

"Sebenernya aku suka sama kamu Kay," aku terkejut mendengar perkataan Arka.
"A-apa?" Aku melontarkan kata yang muncul begitu saja dipikiranku.
"Iya, aku suka sama kamu Kay, kamu lihat puisi itu. Itu puisi yang aku buat setiap minggu. Itu karena aku kagum sama kamu Kay. Dan setiap kamu baca puisi aku, rasanya seneng banget sampai mau teriak keras-keras" jelasnya dengan tangan yang sedikit gemetaran. Dan menunjuk kertas puisi yang tertempel di mading sekolah.
"O-oh, emm" bukannya tidak bisa berkata-kata. Namun aku teringat bahwa umurku yang masih sedikit. Dan ini juga pertama kalinya ada seseorang yang menyatakan cinta kepadaku.
"Terus waktu dilantai dua, itu bukan aku yang ngasih surat ke kamu. Tapi waktu itu, aku mau bilang kalo aku suka sama kamu tapi aku nggak berani. Apalagi ada kak Elios."
"Jadi bukan kamu yang ngasih surat itu?," aku bertanya kepada Arka, sepintas aku teringat kertas yang berada di tas Elios.
"Iya Kay. Aku nggak tau jelas siapa yang ngasih itu. Karena aku gugup jadi aku bilang kalo itu surat milik aku."
"Terus?"
"Kamu mau jadi pacarku nggak?" Tanyanya dengan suara lantang dan menyodorkan bucket bunga yang ada di tangannya.

Aku terdiam. Aku bingung harus berkata apa kepada Arka. Jujur aku tidak menyukainya. Namun dalam benakku merasa jika aku berkata bahwa aku tidak menyukainya pasti akan menyakiti perasaannya.

"E-em Ka, a--" belum selesai berkata Arka menutup mulutku dengan jari telunjuknya.
"Aku tau kamu belum tau jawabannya, jadi aku bakalan nunggu kok. Pertimbangkan baik-baik ya Kay" ia berjalan menjauhi koridor dimana aku berdiri seorang diri sambil membawa bucket bunga. Aku terdiam cukup lama sampai Octa datang menyambar bunga itu dengan wajah yang cukup penasaran.

"Wihh, dari siapa nih Kay?" Ia mencium bau dari bunga itu. Namun aku masih terdiam. Pandanganku masih hampa, tanganku masih menekuk seperti membawa sebuah bunga.
"Woi Kay," Octa menggoyang-goyangkan badanku.
"Em eh Octa" aku tersadar dari lamunanku yang cukup panjang.
"Jadi tadi lu gua ajak bicara kaga denger ?" Tanya Octa, agak marah.
"Denger kok denger" aku meyakinkan Octa walaupun sebenarnya aku tidak tahu apa yang dikatakan Octa.
"Apa coba?, tadi gua tanya apa ?" Aku berpikir keras mendengar perkataan Octa.
"Nggak tau, hehe" aku tersenyum simpul.

WHY ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang