53 [good day starts with latte]

370 12 4
                                    

"Terimakasih pak," ujarku sembari berjalan turun dari taksi hitam yang kunaiki dari halte tadi.

"Sama-sama kak, have a good day!" balas supir taksi itu dengan melempar sedikit senyuman. Ia menutup jendela dan bergegas pergi.

Aku tersenyum sementara tubuhku hampir membeku karena angin pagi yang sebenarnya jarang terjadi seperti ini. Aku masih mengamati taksi itu pergi, semakin jauh. Seolah mampu membaca pikiran, supir taksi tadi tiba-tiba memberikan aku secercah harapan. Aku yang dari kemarin tidak mendengar ucapan seperti itu pun seakan-akan puas meskipun hanya terlontar dari orang yang benar-benar baru aku temui.

Aku pun berpaling pergi, memasuki sebuah kafe yang dimana hampir 10 menit sendiri aku sudah berdiri di depan pintu, berusaha melawan cuaca dan mengangkatkan kaki ku untuk memasuki tempat itu.

"Greentea latte satu,"

Kafe itu berdinding cermin di bagian depannya. Macam-macam kue di etalase nampak sangat menggoda, namun perutku sudah cukup penuh dengan roti isi yang kumakan pagi-pagi tadi. Hanya secangkir latte hangat yang cocok di minum di pagi dingin seperti ini, ditambah fakta bahwa tubuhku baru menyadari kafe ini dilengkapi pemanas ruangan yang cukup bisa melelehkan beberapa cairan dalam tubuhku yang hampir membeku. Ugh suasana seperti ini membuatku ingin tidur saja rasanya.

Aku mengambil ponsel dari tas dan membukanya. Octa semakin menggila.  Pesan masuk darinya semakin menumpuk memenuhi jendela notifikasi, dan jam terkirimnya pun sepertinya baru beberapa menit lalu. Memang sekolah tak mengijinkan kami bermain ponsel di waktu pelajaran, namun dengan insting cacing alaska-nya, pasti Octa mencari cara atau paling gampangnya dia berpura-pura acuh tak acuh sambil memainkan ponselnya di dalam laci meja. Jangan ragukan insting itu, bahkan untuk membawa ponsel kesekolah saja aku butuh mengumpulkan niat semalaman penuh.

Aku masih ragu untuk membuka pesannya. Akan lebih baik bila aku berkata langsung saja kepadanya. Namun tentu aku tidak tahu kapan.

Beberapa pesan lain pun segera masuk seiring aku menekan sebuah aplikasi untuk berkirim pesan. Ada satu yang menarik pandangku, selain profil Octa dengan ratusan notifikasi pesan disampingnya, ada nomor yang tak ku kenal. Cara dia memberi pesan pun tak biasa.

"kayla deanne"

Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya yaitu dengan  mematikan data kemudian diam-diam  menyelinap ke profilnya untuk melihat foto yang dipasang di beranda. Apapun yang terlihat di foto itu, aku tidak suka.

Ayolah i just want to heal myself today, meskipun dengan kualitas gambar yang masih hanya beberapa pixel, aku tahu bahwa seseorang yang mengirim pesan kepadaku adalah salah satu dari mereka. Kak Elios, atau kak Fifi. Tak lagi pikir panjang, aku mematikan ponsel dan mengela nafas berat sambil sedikit menghentak-hentak kepala di atas meja.

"Permisi kak," ujar sang pelayan kafe sambil meletakkan minuman yang aku pesan diatas meja.

Aku segera mengambil sendok kecil disamping latte itu dan mengaduk-aduknya dengan sengaja untuk mengacaukan bentuk cinta di atas greentea tersebut. Pelayan yang sudah berpaling pergi pun seolah tahu hasil karya nya sudah hancur begitu saja oleh gadis remaja moody-an ini. Ia hanya tersenyum getir namun sedikit lega karena setidaknya aku akan membayar setelah ini.

Pikiranku kembali kacau, luapan perasaanku kemarin semakin tak dapat ku hindari. Sebenarnya dengan tidur seharian penuh, aku berharap aku bisa sedikit saja melupakan dia dan hal sulit yang kulalui. Namun kurasa ini tak berhasil, seberapa besar aku berusaha, kalau masih ada dia disekitar kita, usahapun pasti sia-sia.

Keinginan menikmati hari sendiri perlahan sirna sebelum aku teringat akan perkataan ayah waktu itu. Aku bergegas menghidupkan ponsel dan menelpon ayahku dan berkata bahwa aku menyanggupi keinginan ayah untuk berpindah ke luar negeri. Mungkin hanya dengan cara itu, aku bisa sedikit melupakan tentang dirinya dan memulai lembaran baru.

Tiba-tiba Delon duduk di depanku, dengan wajah dingin dia mendorong keningku menggunakan jari telunjuknya. Aku sedikit terkejut namun kemudian nyaman karena setidaknya aku tidak terlihat aneh karena sudah gelisah dan kawatir sendiri sedari tadi.

"Kenapa Kay?" tanya sepupu yang hanya lima bulan lebih muda dariku.

"Gak apa-apa," jawabku singkat sambil mengaduk-aduk minuman di depanku.

"Benar lo gak terkejut gua tiba-tiba disini?" sahutnya dengan wajah sedikit bingung.

"Gak, rumahmu kan juga dekat sini"

"Aneh lo, bukannya lo harus sekolah, itu seragam udah pake rapi ko malah ngopi disini,"

"Tau nih,"

Delon hanya berdecak dengan sedikit menggelengkan kepala.

"Eh btw, kok kamu gak sekolah sih?" Aku yang baru benar-benar menyadari keadaan Delon segera bertanya.

"Soalnya lo yang lebih tua buat gua jadiin pedoman,"

"Berarti kamu emang udah plan bolos bareng aku ya"

"Terserah,"

"Hmm" aku mengangguk malas sembari terus menyangga kepala dengan tangan kiri ku.

"Lo minum kopi mabok yah?"

Aku sedikit kesal. Setelah persepsi antara kami menjadi semakin membaik karena kejadian waktu itu, bocah dingin ini menjadi semakin cerewet. Hampir saja aku ingin bertanya namanya karena ia tak seperti Delon yang dulu ku kenal sama sekali.

"Gimana kabar cowo di surat lo waktu itu?" setelah hanya melipat tangan dan menatap dingin, dia melempar sedikit senyum ketika menanyakan hal tersebut.

"Dude," jawabku singkat.

Bacot banget ini bocah, salah makan apa sih, baru aja mau lupa soal pesan tadi, eh baru dateng, dingin-dingin gini bawa masalah juga. Pikirku sambil menatap tajam ke arah matanya. Ia pun membalas tatapanku, sehingga aku kemudian mengalihkan pandangan ke arah luar.

"Oh patah hati,"

"Tau apa kamu?"

"Semenjak liat tulisannya di surat aja gua udah ada rasa dia gak cocok sama lo Kay,"

"Maksud kamu?"

"Fokus sekolah dulu,"

Aku sempat terkejut dengan perkataan Delon tadi.

"Tapi itu beda cowo," ucapku spontan dengan lirih.

"Oh ada banyak cowo, dasar,"

"Apaan sih?"

"Pokoknya, belum saat lo Kay,"

"Terus kapan dong?"

"Ya mana gua tau, gua bukan fortune teller dih"

Cih, dingin, ngeselin pula. Aku pikir-pikir lagi dan kemudian tersadar mengapa aku mendengarkan nasehat bocah yang bahkan lebih muda dariku, meski cuma 5 bulan sih.

"Abis ini lo mau kemana?" tanya Delon.

"Entah, belom kepikiran,"

"Gila lo," ejeknya.

Aku tersenyum dengan menyimpan dendam dihadapan Delon, sementara dia tertawa kecil sambil masih mempertahankan wajah dinginnya.

"Eh foto aku dong," pintaku sembari menyodorkan ponsel.

Tanpa berkata apapun, Delon lekas mengambil ponselku dan mengambil beberapa foto dari ku lalu mengembalikannya. Aku hanya terdiam kebingungan, lantas berpose saja belum sempat.

"Wah!" kataku sedikit excited melihat hasil jepretan Delon yang kece jiwa. Gaya candid pun ternyata tidak terlalu buruk. Aku suka foto-foto ini. Kemudian  dengan diam-diam, aku juga mengambil foto Delon yang tetap stay cool walau dalam keadaan apa saja.

Aku memiliki waktu bolos sekolah yang cukup menyenangkan bersama Delon hari itu.

WHY ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang