52 [my heart says it all]

333 16 4
                                    

I wake up in the morning

And say with a prim tone

Where are you?

I want to give you this red flower

 

Did you step over the flower petals?

The sunlight is beautiful

I picked an armful of pretty flowers

Riding the wind and waiting, but you’re

not coming

 

You’re a wind person

Who came into my poor heart

You’re a wind person

When the ground hardens and the sun

sets

I hope a bright light will shine and you’ll

blow a gentle breeze.

-Wind, Bolbbalgan4

°°°

Pikiranku kembali melayang. Setelah sesak menangis selama beberapa jam, kini aku merasa lebih baik dengan meletakkan kepalaku di atas meja belajar. Mandi pun terasa sangat segar. Entah apa yang aku rasakan hari ini, hanya --sedikit aneh.

Batinku mulai tenang, meskipun ibu terlihat sangat gusar mengintip ku dari daun pintu. Aku mengetahuinya, namun aku cukup malas untuk menengok dan mengatakan bahwa aku tak apa. Ibu seharusnya tak usah mengkhawatirkan ku. Justru beban hatiku sudah ku luapkan semua. Aku sungguh baik-baik saya. Hari ini hari yang cukup mengesankan kok, pikirku.

Badanku mulai terasa pegal, setelah hampir semalaman hanya memendam kepala di atas wajah meja. Aku meraih ponsel, melihat beberapa pesan dan panggilan tak terjawab, dari Octa. Aku enggan membacanya, bukannya aku marah atau apa. Namun, sedang tidak ingin saja. Lagipula, aku paham mengapa Octa mengirimi ku banyak pesan. Waktu itu, aku segera pulang naik taksi. Mungkin waktu itu Octa berpikir aku masih di kamar mandi. Padahal aku sudah sampai rumah bahkan sudah sempat berganti baju. Tebak, dia masih duduk di bangku taman sekolah hingga petang tadi.

Aku takut dia akan memarahiku, jadi lebih baik aku abaikan saja pesannya. Aku juga tidak enak menceritakan apa yang terjadi sebelumnya. Selama ini dialah yang membantuku, meyakinkanku. Jadi apabila ia tahu, aku yakin dia yang justru akan merasa buruk. Mungkin belum waktunya, namun pasti aku akan segera menceritakannya.

Aku berjalan dengan enggan ke ranjang. Aku menjatuhkan badanku sembari menengok ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 02.00. Ugh pantas badanku terasa keras. Sudah 8 jam aku hanya duduk di depan meja belajar.

Masih ada beberapa hari lagi aku harus bersekolah sebelum akhirnya libur kenaikan kelas. Bagaimanapun aku tak boleh terlambat, aku harus segera tidur.
Kedua tanganku meraih selimut di ujung ranjang sambil menahan rasa sakit karena otot tangan yang terasa kaku.

Tak butuh semenit, hanya beberapa detik saja aku sudah berhasil terlelap dan berkelana di alam mimpi. Namun, tak ada apa-apa selain layar besar gelap karena untaian pita recorder saja sudah habis untuk menampilkan cerita selanjutnya. Mungkin karena aku terlalu lelah, banyak sekali yang terjadi hari ini. Seakan seluruh bagian dari tubuhku pun sama lelahnya, mereka sudah berusaha menolak keadaan, namun mereka terlalu lemah sehingga hanya bisa mengalah saja.

°°°

Paginya, suara ibu tak terdengar di depan pintu. Suara alarm pagi pun seperti tak berbunyi. Aku masih tidur sementara jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.45. Aku harus berangkat, meskipun aku yakin pasti terlambat.

Aku terbangun, segera melangkah ke kamar mandi. Bersiap-siap dan bergegas pergi.

"Ibu, aku berangkat dulu!" kataku sembari mengambil sebungkus roti isi di meja makan.

Ibu tak menjawab, mungkin ia sedang pergi. Hari ini terasa sangat dingin, sehingga terpaksa aku harus menyempatkan diri mengambil sebuah hoodie disela-sela kegelisahan ku akan terlambat berangkat ke sekolah.

Jam 07.45. Duh, kenapa sudah se-siang ini. Sementara sebuah bus pun tak segera menampakkan diri. Aku berdiri dengan sedikit goyah, angin dari kedua arah menusuk kulit ku sampai kedalam-dalam. Aku sangat kedinginan.
Karena bus tak datang-datang, aku segera mengulurkan tangan memanggil taksi yang kebetulan sudah beberapa kali melewati jalan ini.

"Mau kemana kak?" tanya si supir taksi yang kelihatannya masih belum begitu tua, sepertinya hanya seorang pekerja paruh waktu. Sejenak aku terdiam sebelum kemudian aku memutuskan untuk pergi ke sebuah cafe di pinggir kota. Maafkan anakmu bu, aku akan menjadi anak nakal hari ini saja.

"Nggak sekolah kak?" tanya supir taksi sambil sedikit melirik kaca tengah mobil.

"Ah tidak pak, sedang libur," Aku merasa cukup kacau dikala dia bertanya tentang hal itu. Mendengar ku, dia hanya mengangguk ragu.

Aku menatap luar sambil mengencangkan tali hoodie hingga hampir membuat nafasku sedikit tersendat. Untung aku membawa ponsel, sehingga ibu tidak akan begitu pusing apabila aku pulang terlalu malam. 

Selama perjalanan, aku memikirkan hal apa yang akan aku lakukan hari ini. Kemudian, aku memutuskan untuk menikmati waktu sendiri seperti dalam wishlistGadis 17 tahun ini akhirnya bisa mewujudkan keinginannya, meskipun baru satu dari sejuta lainnya.

WHY ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang