Aku berjalan keluar sekolah bersama Octa dengan tatapan yang masih hampa. Octa bertanya banyak hal mengenai bucket bunga yang kubawa, namun aku hanya membalasnya dengan sepatah dua patah kata. Di pikiranku sekarang hanya ada Arka dan Arka.
Octa terus berbicara dan perkataannya hanya masuk di telinga kananku lalu keluar dari telinga kiriku. Semuanya percuma. Bak angin yang berjalan-jalan di telingaku lalu dengan anggun melompat menjauh dariku. Apa yang harus kukatan kepada Arka. Aku tidak mencintai seseorang kecuali Elios. Yah? Memang bertepuk sebelah tangan sih. Tapi kalau berusaha mungkin aku bisa menaklukan Elios. "Sebentar-sebentar, sekarang masalahnya Arka, kok malah mikirin Elios sih," pikirku sembari membuat berantakan rambutku yang terurai panjang.
"Kay, lu ngapain sih? Aneh banget deh lu hari ini. Terus ni bucket dari siapa?," tanya Octa heran melihat tingkahku hari ini.
"Ah itu, itu ada bis, pulang yuk," ujarku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Kay!"
"Nanti aku ceritain Ta,"
"Nggak-nggak usah, gua nggak perlu tau"
"Jangan ngambek Ta, maaf"
"Nggak gua nggak ngambek kok. Hal-hal itu nggak harus gua ketahui semua ada batasannya juga kan"
"Benerrr!" Aku mencubit pipi Octa. Dia memang paling mengerti perasaanku.Alunan musik yang disetel sopir bus membuatku terbuai suasana. Bukan lagu dangdut, melainkan lagu lama yang sangat menenangkan hati. Spontan kepalaku menyender di jendela bus. Aku menikmati alunan nada sambil melihat luar bus. Lagi. Terlintas dipikiranku lagi " Aku harus berkata apa pada Arka ?," aku segera menyadarkan diri. Aku bergumam sambil bernyanyi untuk mengilangkan pikiranku terhadap Arka. Namun lagi. Lagi dan lagi. Aku menghentikan gumamanku dan berpikir tentang Arka. Mungkin ini rasanya di-tembak oleh seseorang?.
Aku sudah tak tahan lagi. Arka terus saja membayang-bayangiku. Aku segera memencet tombol di samping tempat duduk. Aku sungguh berharap bus akan segera berhenti. Aku berdiri dari tempat dudukku. Bucket yang sedari tadi dibawa Octa aku rebut begitu saja. " Kay! Lu mau kemana?" Octa berteriak keras-keras melihatku menjauh darinya. Aku mengabaikannya begitu saja. Sesegera setelah aku turun dari bus, aku menoleh ke arah Octa dan meminta maaf kepadanya. Aku berjalan menyeberangi jalan raya sambil menenteng bucket bunga yang besarnya memenuhi rentangan tanganku. Aku menunggu bus ke arah sekolah, berharap Arka masih ada di sekolah.
Ya!, sekarang aku sudah berada di sekolah. Berlari dengan keringat yang mulai mengalir di kepalaku. Aku mencari Arka di semua sudut sekolah. Mulai dari kantin, perpustakaan, bahkan kamar mandi laki-laki. Aku juga hampir memasuki semua ruang kelas yang ada disekolahku, yang kira-kira berjumlah 16 ruang kelas. Namun sekolah sepi, tidak ada seorang pun. Seperti semua orang sudah sirna di muka bumi ini. Aku menyenderkan tubuhku ke sebuah sudut sekolah. Di dalam perpustakaan. Bunga yang ku bawa mulai layu.
"Aku nggak tau rumahnya Arka," gumamku dengan putus asa. Terlintas dipikiranku. Hari ini Arka pasti sedang berada di tempat lesnya. Waktu itu, waktu aku masih di rawat di rumah sakit. Aku tidak tahu betul dimana tempat les itu berada. Tapi aku akan berusaha mencarinya. Aku segera bangkit dan berlari dengan keringat yang sudah menggenangi separuh mukaku.
Aku mencoba mengingat-ingat kemana Arka berjalan waktu itu.
"Pak, disini ada tempat les nggak?" Tanyaku kepada seorang warga yang sedang berdiri di persimpangan jalan.
"Kurang tahu dek, tapi sepertinya ada di daerah situ," jawab bapak itu.Aku kembali berlari dengan nafas yang hampir habis. "Tempat Les IndoJaya, kayaknya itu" aku membaca sebuah papan yang berada di depan suatu bangunan yang agak mewah. Aku memasuki bangunan itu.
"Ini tempat les atau rumah sakit, gede banget,"Dan ternyata, banyak sekali ruangan. Setiap kelas dibedakan dengan umur murid yang les ditempat itu. Jadi untuk mencari Arka aku harus memasuki semua ruangan. Dan hampir semua ruangan aku masuki, hampir semua ruang, murid yang sedang les dan gurunya pun menatapku dengan heran. Dan tinggal satu lagi. Tanpa basa-basi dengan bucket bunga yang bunganya sudah berjatuhan, aku membuka pintu ruang les itu dan berteriak dengan keras.
"Arka !!"