Sudah hampir seperempat jalan jarum pendek jam dinding itu berada dari sebelumnya. Aku menikmati waktu bersama Delon di dalam kafe dengan cerita absurd yang tak kuduga keluar dari mulut Delon. Langit yang semula hanya abu-abu dan angin darat yang berhembus dengan kencang pun sudah mulai bisa menjinakkan diri. Matahari menyampaikan salam melalui sinarnya yang membias melalui dinding kaca. Aku sangat merasakan vibe estetik nya.
Mataku melirik jam dinding yang terpasang di dekat etalase kue. Jam itu masih menunjukkan pukul 11 sehingga aku memutuskan untuk setidaknya menghabiskan beberapa waktu lagi di kota ini, sebelum aku harus kembali dan bersiap menghadapi omelan mama. Aku membuka ponsel, menghidupkan GPS dan mencari tempat yang cocok untuk ku datangi di sisa waktu libur sekolah yang kupaksakan.
Delon berjalan mengambil satu kotak tart buah setelah satu pesan masuk ke ponselnya, sepertinya seseorang menyuruh Delon untuk membelikan kue itu. Aku mengikuti langkah Delon dari belakang. Setelah kami selesai membayar kami beriringan berjalan keluar.
"Lo mau kemana?" tanya Delon
"Gak tau nih," kataku sedikit kecewa sambil terus memainkan ponsel.
"Cih," decaknya antara marah dan mengejek. Meskipun demikian dia tidak beranjak pergi.
"Kamu mau kemana? Kok masih disini?" tanyaku yang kemudian menyadari bahwa Delon masih berdiri kokoh di samping ku.
"Urusan gua," jawabnya singkat sembari meraih ponsel dan kembali memainkannya.
Aku menarik-narik tali hoodie hingga membuat goresan merah di batang leherku. Aku menghabiskan sekitar 3 menit dengan berdiri di samping Delon dan tidak melakukan apa-apa. Delon pun sama saja, ia tak sedikitpun bergerak. Ia hanya sibuk memainkan ponsel dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya masih membawa kotak kue tart buah yang ia beli tadi.
Benda panas di langit itu semakin naik tepat diatas kami. Tiba-tiba sebuah pencerahan masuk ke kepalaku, sehingga yang terpikir sekarang hanyalah hal tersebut. Aku teringat bahwa ada suatu tempat yang sempurna untuk dinikmati di waktu dan cuaca seperti ini. Apalagi hari ini hari sibuk, anak-anak sibuk bersekolah sementara orang dewasa sibuk pergi bekerja. Dan tentu aku dan Delon bukan salah satu dari mereka, kami masih dalam tahap transformasi antara keduanya. Kami hanya bersantai.
"Ah, pantai!" ucapku dengan sedikit out of the box. Delon sedikit terguncang, dengan terpaksa dia mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Hah?" sentaknya singkat dengan wajah berkerut.
Aku membuka ponsel dan kembali menyalakkan GPS, berharap ada pantai di sekitar sini. Setidaknya 1 km lah, aku bersedia untuk berjalan kok. Apalagi trotoar disini membuatku betah berjalan-jalan. Bersih dan tertata rapi. Sepertinya wilayah lain harus belajar dari kota kecil ini.
Delon masih menatapku dengan wajah terkejutnya. Kemudian dia mulai mendekatiku dan mengintip apa yang aku lakukan dengan ponselku.
Wajahku mengusut kecewa, pasalnya pantai yang kudapatkan letaknya 5 km dari tempat dimana sekarang aku sedang berada. Lima kilometer sama dengan lima ribu meter, sementara jarak rumah ke sekolah dua kali lipatnya, dan itupun butuh waktu 30 menit dengan bus untuk sampai kesana. Kalau berjalan mungkin kaki ku akan sungguh mati rasa, sampai sana pasti matahari sudah berpindah di benua lain. Atau sebenarnya aku bisa mencari taksi, namun uang saku pas-pas an ku sudah habis ku gunakan untuk membeli minuman di kafe tadi. Apa boleh buat, menyerah saja.
Raut Delon nampak getir melihat kelakuan sepupu tua yang sama saja absurd dengan ceritanya. Delon yang sudah habis kesabarannya segera mengambil ponsel ku.
"Lo kepengin ke pantai?" ucapnya sesegera setelah menyadari aku menatap gambar pantai di layar ponsel.
"Iya.. Eh gak sih, jauh gak jadi,"
