NB : mainkan musik pada video di atas untuk pengalaman membaca yang lebih baik :)
Iringan tepuk tangan mulai terdengar. Aku yang masih melamun di ruang OSIS segera keluar, melihat apakah acara benar-benar sudah selesai. Namun sial, ternyata Elios sedang berada di atas panggung untuk melakukan ucapan terimakasih. Dia entah bagaimana bisa, pandangannya tertuju kepadaku selagi aku keluar dari ruang OSIS. Dia sempat tersenyum kepadaku di tengah pidato singkatnya. Tolong. Mengapa dia seperti itu? Batinku. Aku mencoba sebisanya membalas senyumnya. Aku segera bergegas kembali masuk ke ruang OSIS yang membuat wajah Elios menjadi berubah kebingungan. Aish. Aku mendesah kesal. Elios tidak tau, betapa aku membencinya. Apalagi kalau dia sedang senyum. Bisa terbang aku dibuatnya.
"Woy, lu ngapain sih disini, orang pada sibuk ngatur acara lu malah duduk kek orang ilang, bantuin gih," kata Octa dari ambang pintu.
"Gak mood," jawabku tanpa menoleh sedikitpun.
"Ya kalau nurutin mood gua juga gak akan mau kali di suruh-suruh kek gini, dah lah yok," ujarnya seraya menarik tanganku.
Aku dengan terpaksa mengikuti langkah Octa. Dia berjalan di lorong sekolah menuju perpustakaan.
"Mau ngapain sih disini?" tanyaku sembari memasuki ruang perpus.
"Nih bawa," jawab Octa, memberiku setumpuk penuh rapor kelas 9.
Aku agak merengek ke Octa, namun apa daya ia menoleh ke arahku pun tidak. Aku berjalan kembali ke arah aula, beriringan dengan Octa dan kak Fifi yang entah darimana datangnya. Ia membawa satu bouquet bunga mawar. Indah. Ada gantungan 2 huruf di pita pengikatnya. F dan E. Cantik sekali, batinku.
"Aduhh kak Fifi buat siapa tuh bunganya," celetus Octa. Sementara aku hanya ikut tertawa sambil menahan rapor-rapor ditanganku agar tidak jatuh.
"Apasih Ta," ujar kak Fifi sembari tertawa kecil. Ia semakin memeluk erat bouquet bunga itu di dekapannya.
"Duh," desah ku seselesainya aku menaruh rapor itu diruang samping aula. Aku menengok sedikit, namun kak Elios sudah tak lagi disana. Aku agak menghela nafas entah karena angkat beban singkat tadi atau karena aku lega tak akan berdegup untuk sementara.
Berbagai rangkaian acara sudah hampir semua terlaksana. Rambut ku pun sama. Sudah hampir lepas semua. Apalagi ditambah mendengar doa penutupan, sudah lah aku mati saja.
"Coy, yuk!" ajak Octa, menarik lenganku yang sedang akan melahap roti. Ia menarikku ke kamar mandi.
"Anjir penuh," Ucapnya melihat kamar mandi penuh siswi-siswi bergaun mewah. Ia memutar balik dan menuju ke kamar mandi guru.
"Ngaca noh, rambut lu, yakali lu mau confess perasaan lu, rambut lu kek gembel gini," jelasnya.
"Duh, kukira kenapa ih," jawabku sambil merapikan rambut. Aku beberapa kali melirik sinis ke arah Octa. Beberapa kali pula Octa menangkap tatapanku itu.
"Apa sih liat-liat,"
"Bleh," jawabku singkat sambil menjulurkan lidah.
Reflek, Octa mendorong kepalaku. Dan aku pun membalasnya. Dan seterusnya hingga aku berjalan kecil kemudian melarikan diri. Kurang lebih. Sampai aku dan Octa berakhir duduk di taman tengah sambil terengah-engah. Aku melihat sekitar. Mencoba memastikan tak ada seorang yang ingin menangkap pembicaraanku dengan Octa tentang Elios.
"Gimana nih Ta," ucapku.
"Ya serah elu aja sih, yang penting jangan kelamaan, entar keburu pada pulang," jawab Octa sambil mengusap-usap layar ponselnya.