Guiltiness | 02

10.1K 669 35
                                    

"Everyone you meet is
fighting a battle you know nothing about.
Be kind. Always."

▪Anonymous▪

Ruangan itu tampak kacau-balau. Kaleng bir, soda, kulit kacang, dan plastik-plastik makanan ringan berceceran mulai lantai hingga meja. Asap rokok mengepul sana-sini, membuat ruangan itu menjadi berkabut karena tidak ada akses bagi asap rokok itu untuk keluar.

Yuan beranjak dari tidurnya, menyambar jaket jeans dan kunci motor, sedangkan Dhez mengamati lamat-lamat pergerakan laki-laki itu.

"Mau ke mana, Yu?" tanyanya.

"Rumah."

Pram mendongak, meninggalkan sesaat aktivitasnya. "Ikut dong, Yu. Mau ketemu tante Zara," katanya.

"Nggak usah."

"Yu ..." Pram merengek.

"Gua bilang nggak usah ya, nggak usah!" Tanpa sadar sentakan keluar. Pram berjengit terkejut. Begitupula Dhez dan Tian pun seketika menoleh ke Yuan dengan wajah terkejut juga heran.

Seketika menyadari emosinya yang tak terkontrol, Yuan mengusap wajah lalu mengucapkan kata maaf dengan lirih.

Apartemennya Yuan. Di sanalah keberadaan mereka. Apartemen yang diberikan istimewa oleh Ayahnya. Istimewa dengan tujuan tertentu. Mengasingkan Yuan. Membuang anak itu jauh-jauh dari peredaran.

Masih sama bahkan tidak berubah sedikitpun. Yuan anak yang selalu dianggap buruk. Anak sial. Anak yang bisa membawa malapetaka dan tidak pernah dinginkan kehadirannya.

Dulu susah membuat Yuan angkat kaki. Yuan yang masih kecil juga Ibunya Yuan, Zara yang selalu menghalangi Hendra menyingkirkan anak itu. Pada akhirnya, saat sudah beranjak dewasa, Hendra bisa mengusir Yuan tanpa perlu banyak tenaga. Dengan mengancamnya, Yuan pergi keluar dari rumah sukarela bersama rasa sakit yang tidak pernah Hendra pedulikan.

Yuan lugu berubah menjadi anak nakal yang tidak karuan bagaimana hidupnya. Menato badan, meminum alkohol merupakan makanan sehari-hari.

Jika ditanya pendapatnya mengenai salah atau benar sikapnya, laki-laki itu gamblang menjawab, "Dari awal hidup gua udah kacau. Nggak salah kalau gua ngelanjutin kekacauan yang ada."

Seorang anak tak bisa meminta dari keluarga mana dan siapa orang tuanya. Anak hanya bisa pasrah untuk hidup di bawah naungan kedua orang tuanya.

Seperti Yuan, hanya bisa pasrah hidup di dalam sebuah keluarga yang dari awal tidak ada kehangatan sedikitpun. Dari awal bahkan sebelum dilahirkan, dia sudah ingin disingkirkan.

"Gua nggak bisa lihat nyokap langsung, harus sembunyi-sembunyi." Yuan Memberi penjelasan.

Dhez mengerti. Kini bisa merelakan sahabatnya untuk pergi. "Jangan lupa beliin nyokap lo bunga. Seenggaknya dia bisa ngerasain kehadiran anaknya dari sana," pesannya.

Yuan terdiam lalu mengangguk setuju. Sosoknya akhirnya melangkah keluar dari apartemen, diakhiri suara pintu menggema di seluruh penjuru.

Ketiga laki-laki yang ditinggalkan membeku. Masing mata menatap kosong lantai dengan kepala menunduk karena belakangan suasana terasa menegangkan. Yuan tampak selalu mengasingkan diri. Menjauh dari mereka, entah pergi ke mana.

Selalu seperti itu dan tampak semakin parah. Sebuah tembok kokoh terasa seolah memisahkan Yuan dari orang-orang di sekitarnya. Walaupun, dari awal memang seperti itu. Yuan tidak pernah membuka banyak masalahnya.

Merasa harus menghibur dan menghangatkan suasana, Dhez tersenyum. "Kenapa pada tegang sih?" Laki-laki berambut cokelat itu mengangkat kaleng birnya ke udara. "Santai aja. Cheers?" serunya

GUILTINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang