Guiltiness | 51

4.7K 375 46
                                    

Enjoy it!

"Hah ... hah ... hah ..."

Reza membungkuk, menumpukan separuh berat tubuhnya pada kedua lutut yang bergetar. Tulang-tulang yang sudah tidak muda lagi itu, terasa kebas akibat berlari dari lantai satu ke lantai lainnya menggunakan tangga.

Gila? Memang. Tapi, dia berhasil menghentikan tingkah gila orang lain dengan mempertaruhkan dirinya sendiri.

"Apa yang kamu lakuin di situ, Yuan?!" teriak Reza dari pintu atap rumah sakit yang dia biarkan terbuka.

Napasnya masih tersengal-sengal, bahkan dia sempat tersedak air liurnya sendiri ketika memarahi Yuan. Reza sebenarnya marah, tetapi dia terlalu lelah sampai mungkin lelaki di kursi roda itu tidak menyadarinya.

"Kamu mau loncat ke bawah sana?!" tanya Reza lagi berteriak. Kini kaki yang masih bergetar itu sudah bisa berjalan perlahan-lahan menghampiri Yuan.

Sementara, yang diajak berbicara hanya terdiam. Menoleh ke arah Reza yang berangsur-angsur mendekat. Sampai di samping Yuan, jas putih selutut itu ditanggalkannya. Menyampirkan jubah panjang yang cukup hangat itu ke bahu lebar Yuan yang rapuh.

"Buat apa saya operasi kamu kemarin kalau pada akhirnya kamu mau hancurin kepala itu?" Kembali mengoceh lagi Reza. "Sia-sia usaha saya," lanjutnya.

"Jadi, semua semata-mata karena usaha Anda?" Rupanya omongan Reza membuahkan hasil. Meskipun, jawaban dan tawa sinis tersampaikan untuknya.

Reza memicing kesal. "Usaha itu ada campur tangan Tuhan."

"Hebat banget Tuhan bisa buat saya kayak gini. Salah saya apa coba?" Tantang Yuan.

"Ck! Kamu harus saya pertemukan dengan pasien saya yang lebih parah. Yang tidak bisa sekolah karena harus menghabiskan masa kecilnya di rumah sakit." Sembari mendorong kursi roda Yuan dari ujung pembatas rooftop.

Jujur, Reza bersyukur masih bisa menemui Yuan. Dia masih bisa mendengar suara sinis anak lelaki itu. Dia bersyukur Yuan tidak benar-benar terjun dari sana. Betapa menyesalnya dia jika Yuan harus pergi dengan cara itu.

"Saya nggak akan termotivasi sama mereka."

"Tapi setidaknya kamu punya pertimbangan untuk lebih menerima diri sendiri."

Setelah selesai melewati tangga, Reza berhenti mendorong kursi roda itu. Membuat empunya sedikit bingung. Tiba-tiba dia berdiri depan Yuan, tanpa sepatah kata. Hanya menatap sosok itu lamat-lamat. Terutama wajah yang kuyuh itu.

Sampai akhirnya dia berlutut, mengejutkan Yuan. Menghadirkan kekakuan dan rasa bersalah yang tidak jelas. "Makasih, Yuan." Terawang Reza.

"Makasih karena kamu tidak melakukan hal bodoh di sana. Jangan ulangi lagi kejadian ini karena bukan cuman keluarga kamu yang sedih, saya pun merasakan hal yang sama."

Tersentuh Yuan. Mata elang yang kuyuh itu berair, berkaca-kaca. Serentak ia menolehkan kepala untuk membuang pandangan dari Reza. Menghapus sedikit air bening yang menumpuk pada ujung mata. Menelan saliva untuk menghilangkan dahaga tak beralasan.

Memang sempat terlintas di pikiran untuk menerjunkan diri dari atas sana. Bahkan sering terpikir untuk mencelakakan dirinya sendiri dalam beberapa hari belakangan sebab rasa tidak memiliki harapan lagi. Merasa tidak akan ada bedanya jika dia pergi kemarin atau sekarang.

Namun, selalu terasa seperti ada seseorang yang memberinya sebuah bisikan. Sebuah bisikan kebaikan yang mengatakan bahwa orang-orang disekelilingnya tidaklah senang, tidaklah lega jika dia pergi dengan cara seperti itu. Serta, masih banyak hal-hal yang belum dia ucapkan kepada kedua orang tuanya, sahabatnya hingga Bunga, kekasihnya.

GUILTINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang