Guiltiness | 50

5K 396 44
                                    

Yuan berbaring dengan pandangan kosong ke arah sisi kiri kamarnya. Pada sebuah jendela yang memancarkan sinar matahari terik di luar gedung rumah sakit itu. Daun-daun kecil yang sudah mulai menguning bergugur serempak. Angin bertiup seksama di luar kamar.

Sakit ketika menyadari ia tidak bisa bergerak bebas seperti biasanya. Mencoba menghibur diri dengan rangkaian acara televisi yang menyala sepanjang hari, tidak membuahkan hasil. Dia ingin keluar dari kotak yang berbau obat-obatan ini.

"Yu, diminum dulu, ya, obatnya?"

Suara Zara yang ada di sampingnya saja seolah tidak terdengar, padahal Yuan dengar dengan jelas. Kedua bola mata hitam itu menyendu, menghindar dari apa pun yang berusaha diberikan orang lain untuk kebaikannya.

"Yuan," panggil Zara lagi.

Dengan ekspresi datar dan kaku, Yuan akhirnya menoleh. "Yuan nggak mau, Ma."

"Sebentar lagi kamu masuk ruang terapi, mau minum obat kapan lagi, Nak?"

Harusnya dia meminum obat itu sejam yang, lalu ketika selesai menghabiskan sarapan paginya, tapi dia terus menolak. Sebentar lagi, dia harus memulai terapi pertamanya untuk bisa berjalan kembali.

Bisa-berjalan-kembali.

Sebenarnya, Yuan tidak ada gairah lagi untuk melanjutkan kehidupannya. Operasi pengangkatan tumor yang tanpa sepengetahuan dan persetujuan darinya itu, bukannya membawa keuntungan malah membawa petaka. Omong kosong keajaiban. Omong kosong mukjizat.

Pintu kamar rawat tergeser. Seseorang yang tanpa perlu Yuan menoleh sekalipun muncul bersuara, membuatnya bisa mengenali dalam sekejap.

"Yuan, waktunya terapi," ucap Reza dengan senyuman mengembang.

Namun, lelaki itu masih tetap diam. Dia masih membuang pandangan keluar dari jendela. Seolah tidak peduli dengan siapa pun disekelilingnya.

Reza mempertanyakan keacuhan Yuan itu dengan menatap Zara. Wanita yang setia di kursi rodanya itu menunjukan tiga buah obat yang belum diminum Yuan sama sekali. Reduplah raut kebahagiaan di wajah Reza yang memang sengaja dia pasang agar Yuan tidak merasa sedih di hari terapinya yang pertama.

"Yuan."

"Saya baru tau kalau dokter bisa mengambil langkah tanpa persetujuan saya sebagai pasien."

Reza menegang. Ditatapnya Zara yang juga tak kalah kaget. Yuan mengatakan hal itu dengan suara yang sangat dingin. Juga tatapan matanya yang menyorot tajam.

Ya. Yuan memang baru bisa sadar sekarang. Kemarin dia masih belum bisa marah dan protes terhadap apa yang telah dilakukan Reza dan keluarganya secara sepihak. Dan pada akhirnya, dia juga yang mendapatkan akibat.

"Keluarga kamu udah memberi persetujuan, Yuan."

"Terus saya yang memiliki tubuh saya sendiri nggak dokter hiraukan persetujuannya?"

"Menunggu jawaban dan menunggu kamu sadar untuk melakukan operasi sangat tidak memungkinkan. Kondisi kamu kritis."

"Saya bahkan nggak pernah keberatan untuk mati, Dok."

"Yuan!"

Bibir itu bungkap saat Zara menyentak. Dengan mata berkaca-kaca, Yuan kembali membuang muka ke arah jendela.

"Mama nggak tau kenapa kamu bisa bicara seperti itu. Tapi Mama sangat marah karena kamu tidak menghargai usaha dokter Reza."

"Mama nggak ngerti, Ma." Yuan menumpas. "Kalau Mama mungkin pasrah saja duduk di atas kursi roda, tapi saya nggak, Ma! Yuan nggak terima kalau harus nggak bisa jalan dan nggak bisa ngapain-ngapain seperti ini!" sentaknya secara tidak sadar mengecewakan hati Zara, Ibunya.

GUILTINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang