"Dari mana?" Bunga tidak peduli dengan sambutannya yang sarkas. Tepatnya, nadanya yang sarkas.
Tidak biasa memang seorang Bunga memberikan pertanyaan yang menyudutkan Yuan macam mencurigai lelaki itu. Bisa dikatakan, Bunga bahkan tidak sewot jika kedua matanya menatap Yuan berdua dengan perempuan lain
"Tadi aku masukin laundry sebentar," jawabnya. Entah tepat atau tidak alasan yang diberikan, tetapi Yuan berharap alasannya tidak terlihat janggal.
Mungkin dia belum menyadari kedataran ekspresi Bunga. Masih belum paham atau Yuan memang tidak ingin menggolongkan hal itu sebagai suatu masalah. Menurutnya, perempuan memang sulit ditebak. Mereka punya mood yang bisa berubah dalam hitungan jam. Bisa jadi mood buruk yang Bunga miliki ini adalah dampak dari keterlambatannya. Itu hanya sekedar pemikirannya. Tanpa mempertimbangkan hal-hal buruk lain yang mungkin saja terjadi.
"Lama banget," tukas Bunga tertawa meleceh. "Masukin laundry dan langsung berpakaian serapi ini?" tanyanya lanjut.
"Hm," Yuan berdehem dengan anggukan ragu.
"Oke... masuk akal." Lagi, Bunga memberikan respon yang tajam.
Serempak rambut-rambut halus disekujur tubuh Yuan bergidik. Kepekaannya barulah muncul. Tangannya pada kantong celana mengepal karena perasaan tak enak yang hinggap di dada.
"Kita masuk dulu ke apartemen kamu."
"Nggak usah, Bung." Secepat kilat, Yuan menyangga. Dia merampas tangan kekasihnya yang bebas. "Aku udah minta Mama jalan setengah jam yang lalu. Kamu nggak mau buat Mama nunggu, kan?"
Seketika tersorot intens kedua pandangan itu. Satu sama lain membelah bola mata lawan mereka yang merupakan jalan masuk ke labirin otak yang padahal tidak pernah mampu dijamah oleh siapa pun. Berbulan-bulan terlewati, tidak ada satupun dari keduanya yang merasa mampu membelah bahkan berhasil masuk menyentuh hal buruk yang mungkin saja terpikirkan salah satu dari mereka.
"Oke, kita jalan." Bunga menimpal. Bergerak menjauh begitu saja. Tanpa menggandeng tangan Yuan untuk sekedar menghilangkan amarah yang membara.
**
Benda langit tersohor sejagat raya. Pusat dari tata surya. Si mentari masih kembali pulang ke sisi barat bumi. Arahnya belum berubah karena semesta belum sepenuhnya murka.
Langit merah kejinggaan, memanjakan mata dari stresnya otak pada kemacetan ibu kota. Satu per satu dari para pengemudi beringsut menyalakan lampu kecil kendaraan bermotor mereka. Bergantian dan berurutan lampu-lampu tinggi di pinggir jalan menyala. Bekerja dan berfungsi seperti yang seharusnya. Sebab sepanjang hari mereka telah beristirahat. Daya dari sang mentari, mereka serap untuk beraktivitas menyinari malam yang temaram.
Lampu lalu lintas berubah ke warna merah. Semua kendaraan perlahan-lahan berhenti. Pengemudi motor menyesuaikan diri dengan perhentian ruang henti khusus yang menjadi aturan main dalam berkendara. Tidak banyak pula yang melanggar dan melewati batas ruang henti itu.
Yuan menghentikan motornya. Diturunkannya kaki dari pijakan. Dia juga membuka jendela kecil pada helm yang dikenakan untuk mencari udara. Frustrasi, tidak mengerti situasi apa yang terjadi namun dia merasa bersalah. Seakan dia tertangkap basah habis berselingkuh di belakang Bunga karena perempuannya sama sekali tidak buka mulut di sepanjang perjalanan. Tanpa tahu kesalahan apa yang dibuatnya, kecuali itu mengenai dirinya yang sudah lama tidak tinggal di apartemen.
Rasa kering kerontang mendominasi tenggorokan. Yuan ingin menghidupkan suasana, tapi ini terlalu canggung. Dia melirik sejenak pada kaca spion yang menampilkan refleksi wajah Bunga. Perempuan itu sibuk melihat langit kemerahan nan elok. Melihat mentari yang bergerak pelan masuk kembali ke dalam rumahnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
GUILTINESS ✔
Teen Fiction[END] Memangnya apa salah seorang anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan? jawabannya, tidak ada. Lebih tepatnya, tidak ada yang salah dengan anak itu. Tuhan memberinya nyawa untuk menjadi satu bagian yang berarti di dalam hidup kedua orang...