Guiltiness | 40

3.5K 319 29
                                    

Reza pulang, setelah seminggu tidur di rumah sakit. Sekujur tubuhnya pegal, bagaimana tidak, dia tidur di sebuah ranjang kecil bertingkat yang ukuran panjangnya sangat pendek. Membuat kakinya harus menggantung atau dia harus terus menggerakan tubuh ke kiri dan ke kanan agar kaki tidak kram.

Tempat itu adalah ruangan istirahat yang disediakan bagi para dokter jaga alias tidak berlaku bagi dokter spesialis. Alih-alih tidur di ruangannya, pada kursinya yang meskipun empuk bisa membuat pinggang kaku seumur hidup. Reza momohon kepada salah satu dokter muda kenalannya, untuk menerima dirinya menumpang setiap malam.

Namun, Reza memiliki hidup yang sempurna. Rasa lelahnya yang luar biasa terbayar karena anaknya. Bunga berlari membuka pintu dan menyambutnya dengan senyuman. Perempuan itu juga membantu Reza melepas jaket yang dikenakan, lalu memapahnya duduk pada sofa. Tanpa disuruh, dia juga langsung menari-narikan jari-jari lentiknya pada kaki juga bahu Reza.

"Bunga udah buatin Papa sop ayam. Mau Bunga bawain ke sini aja atau mau makan di ruang makan?"

"Biar Papa ke ruang makan aja," jawabnya.

Bunga pun segera bangkit lagi, berjalan lebih dulu ke ruang makan. Menggandeng Reza untuk duduk pada kursi yang sudah dia tarik lebih dulu. Sembari menanak nasi, Bunga mengajak Reza berdialog.

"Pa, minggu depan sibuk nggak?"

"Belum tau, Bung. Memangnya kenapa?" Reza mengambil alih piring dari tangan anaknya itu. Kemudian, dengan cepat menyendokan nasi dan potongan daging ayam ke dalam mulut. Dia ingin segera bertemu kasur.

"Minggu depan 'kan aku ulang tahun, rencananya aku mau ngadain acara di rumah. Paling cuman makan-makan sama acara tiup lilin sih, Pa."

Reza berhenti mengunyah. Dia melirik jam tangannya untuk melihat tanggal hari ini, lalu mengingat-ingat tanggal ulang tahun Bunga. Tak lama telapak tangan lantas pergi menepuk dahinya sendiri. Merasa buruk karena hampir lupa anaknya akan berulang tahun minggu depan. Tetapi, dia tidak ingin menunjukannya. Maka dengan senyuman, dia merespon.

"Terus kenapa?" tanyanya pura-pura tidak mengerti, sembari menyendokan suapan berikutnya.

"Iih, ya ... Bunga minta izin ke Papa dan aku mau Papa juga ada. Jangan praktek pada tanggal itu pokoknya!"

"Hm ..." Reza mengangkat sendok. Ingin berbicara, namun di mulutnya masih ada makanan. Kedua mata memicing ke arah Bunga. "jadi, kamu ngelayanin Papa semanis ini karena ada maunya ya?" ejeknya.

Bunga menyengir bagaikan kuda. "Ayo dong, Pa. Lagian Bunga juga belum pernah buat pesta kecil-kecilan. Masalah makanan dan kebersihan rumah setelah acara, biar Bunga yang urus. Papa tinggal hadir aja, absenin muka ke satu per satu teman-teman Bunga. Biar mereka tau kalau aku punya Papa yang ganteng!" godanya.

"Tetap ya, bujuk Papa dengan sanjungan." Reza melirik dan menggeleng kepala. Mengetahui betapa manisnya anaknya. Dia selalu melewatkan senyum manis ini. Kembali terbesit rasa bersalah.

"Bunga juga mau ngenalin Papa ke seseorang," tutur Bunga lagi. Seolah Reza bertanya dalam pendangan matanya, Bunga memberikan jawaban. "Yuan. Papa mau kenalan sama dia, 'kan?"

Sontak Reza berhenti mengunyah. Digenggam erat-erat sendok makan sambil memandang anak perempuannya. Seakan pikirannya kosong, tak tertuju. Reza tidak ingin semua terbongkar. Bunga tidak bisa secepat ini mengetahui kebenarannya. Maka, dia memutuskan harus mampu. Reza akan pura-pura tidak mengenal Yuan. Ya, demi kebahagiaan keduanya. Keduanya atau hanya kebahagiaan Yuan saja. Dia tidak bisa memilih.

"Hn, jelas Papa mau. Dia pacar anak Papa, 'kan?"

**

Kejadian sehari yang lalu cukup menggemparkan makhluk-mahkluk hidup SMA Harapan. Tidak peduli manusia atau setan sekalipun sibuk bercerita mengenai Reno yang sangat kesal kepada Yuan. Di samping betapa bingungnya mereka melihat Yuan tumbang hanya dengan sekali dorong. Bahu cedera dan dahi membiru.

GUILTINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang