Guiltiness | 43

3.7K 350 50
                                    

"Inginku memelukmu dan ucapkan maaf."

▪Jikustik - maaf▪

Seperti janjinya, Yuan datang. Kedatangannya disambut hangat oleh Zara dan Haris. Hendra juga ada di sana. Tahu dia datang. Tahu dia ada di dalam rumah itu, namun tidak memberikan respon yang berarti. Hanya membisu duduk di sofanya dengan koran seperti tidak ada yang spesial.

Semakin hari, di sisa-sisa waktunya Yuan semakin tidak bisa membohongi diri sendiri. Kalau dikatakan dia baik-baik saja dengan Ayahnya yang masih acuh terhadapnya, tidak. Yuan semakin merasa sakit. Haruskah dia berteriak di depan wajah Ayahnya kalau dia tidak lagi punya banyak waktu? Dia yang selama ini masa bodoh, dia yang selama ini justru menyalahkan diri sendiri, merasa setidaknya dia ingin Ayahnya melihatnya.

Sekarang semuanya sudah duduk di kursi makan masing-masing. Meja persegi panjang itu terlihat lebih hidup daripada yang biasanya. Sebab kursi-kursinya terisi dengan sempurna. Zara nampak sangat bersemangat. Dia meletakan dan menjelaskan satu per satu masakan yang dibuat dengan tangannya sendiri kepada Yuan. Makanan-makanan kesukaan Yuan.

Merasa tidak enak karena membuat Ibunya kelelahan, Yuan juga meletakan lauk-pauk dan sayuran ke piring Zara. Bahkan menuangkan segelas air untuknya.

Melihat cara anaknya memperlakukan istrinya, Hendra malu. Malu karena dia tidak pernah bisa melakukan hal itu dan malu melihat kebesaran hati Yuan. Seakan dia baru bertemu dengan Yuan. Seakan dia adalah seorang ayah yang baru bertemu dengan anaknya setelah bertahun-tahun lamanya dibiarkan terpisah jauh. Siapa yang harus dia maki? dirinya sendiri. Hendra harusnya mengutuk dirinya sendiri.

Di sisi lain, Haris tidak bisa berhenti tersenyum bahagia. Melihat Yuan yang sudah besar. Dia tidak menyangka waktu begitu cepat berlalu. Tidak ada lagi Yuan yang cengeng karena dengan jelas dia bisa melihat hanya ada Yuan yang kuat sekarang. Mata hitam itu terlihat kokoh meskipun sendu pada sorotannya.

"Yuan."

"Iya, Kek?"

"Kamu senang?" Haris bertanya.

Yuan tersenyum tipis. "Saya senang bisa ketemu Kakek," balasnya.

Haris mengangguk. Dia bahagia jika Yuan juga bahagia. Rasanya, ingin menangis. Menyadari cucunya belasan tahun hidup dengan penderitaan. Menjadi seseorang yang tidak pernah diinginkan. Menjadi seseorang yang tidak pernah boleh merasakan kebahagiaan, tanpa pernah tahu apa salahnya.

Dia tidak kuat. Tangan keriputnya melepas kacamata bingkai tipis itu. Menyeka kelopak matanya yang kian menurun tahun demi tahun. Terisak pelan. Tangisnnya membuat semua orang kebingungan. Terutama Yuan, cukup heran melihat Kakeknya menjadi orang yang sangat berbeda daripada yang dulu.

Seseorang yang dulu pernah memberikan dia kenangan buruk. Kenangan buruk yang membuatnya memiliki trauma berkepanjangan terhadap sebuah lingkungan yang ramai. Terhadap satu tempat yang selama sebelas tahun lamanya tidak pernah lagi dia kunjungi.

"Pa," Hendra memanggil Haris. Menyentuh bahu pria baya itu.

Haris menepis tangan Hendra. Tanda bahwa dia marah. Dia snagat marah. "Kamu lihat apa yang terjadi dengan keluarga kita. Kamu lihat, Hendra!" bentaknya.

Zara terkejut. Dia menggeser kursi rodanya mendekati Haris. Ditepuknya bahu ayah mertuanya itu. Menenangkan pria yang dulu pernah sekali memakinya. Pernah sekali hampir mencelakakan anaknya.

"Papa memarahi saya seakan-akan Papa nggak pernah melakukan kesalahan. Siapa yang dulu pernah ingin membu-"

"Tutup mulut kamu, Hendra!" Haris menghentikannya. "Apa yang pernah Papa lakukan tidak sebanding dengan yang kamu lakukan. Kamu tau apa akibatnya? Kamu tau apa yang Yuan alami sekarang karena perbuatan kamu?!"

GUILTINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang