Guiltiness | 04

6.9K 512 42
                                    

Sang surya sudah mulai kembali beraktivitas. Merangkak naik ke cakrawala. Kilaunya belum sepanas yang seharusnya, masih hangat-hangat kuku menemani para penghuni bumi dalam memulai aktivitas.

Pukul 6.25.

Seharusnya, laki-laki itu sudah ada di dalam kamar mandi untuk bersiap-siap pergi ke sekolah. Namun, tampaknya dia akan terlambat hari ini. Yuan masih terjebak di atas tempat tidur, bergumul dengan selimut putihnya. Tampaknya laki-laki itu sedang melewati masa sulit. Penyakit itu kembali mengujinya. Bersama kedua mata yang masih terpejam, kepalanya bergerak-gerak gelisah. Keringat dingin mengalir dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mulutnya tiada henti menggumam, "Ma... Hhh, sa-kit.."

Sebuah tato yang terukir di dadanya setahun lamanya, terpampang jelas. Tubuh bagian atas itu tidak dibaluti sehelai benang pun.

Tiba-tiba kedua matanya terbuka, ia tersadar. Yuan memandang langit-langit kamarnya dengan napas yang tersengal-sengal. Sakit yang sangat menusuk di kepalanya semakin terasa sakit begitu dia terbangun dari tidur. Sangat sakit hingga rasa mual muncul. Sesuatu dari dalam perutnya seperti memaksa keluar dari dalam sana. Tangan kurus itu membekap mulutnya sendiri, Yuan sekuat tenaga beranjak dari tempat tidurnya yang sangat berantakan layaknya kapal pecah.

Brak!

Yuan bersimpuh di depan kloset bersama tangannya yang bergetar hebat mencengkram sisi-sisi kloset.

"Hoek!"

"Hoek!"

Tangan itu meluruh dari posisinya. Empunya bersandar lemah pada dinding kamar mandi yang dingin. Lantai dan hawa kamar mandi yang dingin membuatnya menggigil. Tangan itu bergetar semakin dahsyat, Yuan menekan tombol penguras kloset dengan sisa tenaganya kemudian dia membiarkan pungunggnya yang sudah mulai terlihat tonjolan tulang itu membentur dinding.

Masih dengan napas tidak kunjung berhembus normal, Yuan mencoba mempertahankan kesadarannya. Dia tidak mungkin bisa bertahan hidup di dalam kamar mandi yang dingin seperti ini. Maka Yuan mecoba berdiri, namun naas. Kakinya tidak mampu menahan beban tubuhnya.

"Aaargh..." Yuan mengerang kesal. Tangannya mengepal, memukul kuat-kuat kepalanya, berakhir dengan menarik kuat-kuat rambutnya. Namun, ia tetap tidak merasakan apa pun. Rasa sakit di kepalanya jauh lebih menyakitkan.

Pada akhirnya, tenaganya lenyap, tangan Yuan merosot jatuh ke lantai. Dengan kepala yang mendongak Yuan menutup kedua matanya. Dia kembali kalah.

Yuan tampak seperti seorang pencundang.

Dia kalah telak dari ayahnya. Dia kalah telak dari takdir buruknya. Kini dia juga harus kalah telak dari penyakitnya.

**

Bunga memelankan langkah lebarnya. Sebuah senyuman bahagia mengembang begitu dia menemukan laki-laki itu jauh di depan sana. Bunga ternyata kembali bertemu dengan Yuan. Pada peristiwa keterlambatan mereka yang sama seperti minggu lalu, tepat saat Bunga baru masuk ke SMA Harapan. Pintu pagar sekolah sudah tertutup dengan rapat, gembok pun duduk dalam tempatnya dengan nyaman.

"Yuan!"

Langkah kaki Yuan berhenti. Dia sempat berdiri mematung, kemudian berbalik setelah ingat dengan pemilik suara itu.

"Tolong bukain gerbangnya dong,"

Semua tampak seperti deja vu. Yuan masih berdiri di tempatnya dengan tubuh yang membeku, menatap Bunga dingin Padahal sebenarnya, ia merasa bahagia bisa menatap Bunga pagi ini.

Tetapi, Bunga tidak goyah. Bunga sudah tampak biasa dengan tatapan itu. Tatapan yang mungkin mampu membuat segelintir orang berlari ketakutan, dan adapula yang mencacinya karena dikira belaga sok keren.

GUILTINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang