Guiltiness | 35

3.7K 356 73
                                    

Koridor lantai dua ramai. Riuh dibisingkan seruan-seruan murid sana-sini. Mereka bercengkrama, tertawa, saling mengerjai namun adapula individu yang berdiri menyendiri di pinggir balkon menyaksikan pemandangan umum yang terjadi di lapangan sekolah. Belasan anak laki-laki berseru kepada teman mereka untuk menangkap bola yang dilambungkan kawannya yang lain. Lapangan basket, tidak pernah sepi pengunjung. Ada saja yang mengisi kekosongannya dengan permainan-permainan seru yang mampu memanjakan mata.

Selain mereka. Selain murid-murid yang fokus melihat pertandingan basket kecil-kecilan, ada Dhez di depan pintu perpustakaan. Dengan kedua tangan yang ia masukan di dalam kantong celana abu-abunya. Semilir angin, menggerak-gerakan rambut hitam kecekoletan itu. Pahatan wajahnya yang sempurna membuat beberapa murid perempuan yang lewat sempat melirik sedikit ke arahnya.

Bukan tanpa alasan, Dhez berdiri di sana. Dia sibuk dengan hatinya yang galau. Bimbang. Resah. Ada sesuatu yang ingin dia lampiaskan dan luapkan. Beberapa hari berlalu setelah kejadian dia mengancam Yuan bahwa dia akan buka mulut. Dia akan membuka rahasia terbesar Yuan kepada kedua sahabatnya juga Bunga.

Nyatanya, dia tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari. Menjadikannya manusia yang tiada hentinya berpikir bahkan ketika seisi dunia tertidur. Dia satu-satunya manusia yang masih tetap membuka mata dan berpikir keras.

Di dalam perpusatakaan itu ada Bunga. Seseorang yang mungkin akan dia beritahu terlebih dahulu mungkin perempuan itu. Namun, setelah beberapa menit berlalu dia tidak kunjung masuk ke dalam sana untuk menceritakannya. Dia hanya menunggu, menunggu dan menunggu. Menunggu hatinya siap untuk mengatakannya.

Ada banyak pertimbangan yang memberatkan hati. Dhez tidak ingin membuat Bunga sedih. Dia tidak mau Bunga hancur ketika mendengarkan kebenaran yang ada. Tetapi dia sendiri hancur perlahan-lahan di dalam sana. Entah kapan batas waktu meledak tubuhnya.

Ceklek!

Pintu pun terbuka. Bagaikan pintu neraka di mata Dhez. Keluarlah sosok Bunga. Perempuan itu berdiri tepat di depan tubuhnya.

"Lo berdiri di sini selama lima belas menit. Untuk nungguin gue, 'kan? Kenapa, ada yang mau lo omongin ke gue?"

Setransparan itu kepalanya sampai-sampai Bunga tahu niatnya. Beruntung dia tidak mampu membelah setiap labirin otaknya untuk membaca apa yang ingin dikatakan.

"Iya. Ada sesuatu ... yang mau gua omongin."

"Apa?"

Mulutnya seperti dibekap. Ingin berteriak namun tidak bisa. Dhez tidak bisa mengatakannya. Apalagi ketika ingat wajah Bunga yang selalu tersenyum bahagia kala bersama Yuan. Tegakah dia menghancur leburkan kebahagiaan itu.

"Tentang Yuan?"

"Bukan."

Bodoh. Mulut itu sudah bertindak di luar keinginannya. Dhez memulai kesalahan. Dan dia bingung mengakhirinya. Mengakhiri kecanggungan ini.

Ya. Hubungan mereka selalu secanggung ini. Sejak dia pergi meninggalkan Bunga. Meninggalkan semua harapannya dengan Bunga. Walaupun Yuan bilang dia akan menguasai perempuan itu setelah semuanya berakhir. Kembali lagi, pantaskah dan sungguh tidak tahu malunya dia jika benar-benar memiliki Bunga setelah Yuan pergi.

"Gua harus balik ke kelas." Maka melarikan diri adalah solusinya. Tidak perlu persetujuan Bunga. Dia beranjak dari tempat itu dengan segera.

"Gue takut."

Dhez menghentikan langkah panjangnya, berbalik melayangkan pandangan jauh kepada Bunga.

"Menghadapi Yuan yang sekarang--gue nggak tau harus senang, bahagia, takut atau sedih. Dia sangat berbeda, Dhez. "

GUILTINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang