"YUAN!"
Ketiga laki-laki itu lantas berlari menghampirinya. Dhez segera membalik tubuh Yuan yang tertelungkup. Darah mendomasi wajah pucat pasi Yuan. Memar yang terlihat biru bahkan keunguan membuat Pram meringis.
"Yu, bangun, Nyet."
"Bangun, Ngsat!" sentak Tian terus-menerus. Diguncang-guncangnya tubuh yang tidak berdaya itu. Nyaris saja dia memukul dada Yuan agar empunya sadar, namun nihil Yuan tidak bergerak sama sekali. Satu yang mereka tahu, Yuan masih hidup. Bersyukur karena mereka masih bisa merasakan denyut nadi laki-laki itu meskipun lemah.
"T-terus kita harus bawa dia ke mana?" tanya Pram dengan suara yang bergetar. Dia memang laki-laki yang begitu payah. Walaupun pandai dalam hal bela diri, melihat orang lain terluka penuh dengan darah, bulu kuduknya selalu bereaksi.
Dhez menerawang, "Kita nggak mungkin bawa Yuan ke apartemen. Kalau mata-mata ayahnya ngeliat Yuan kayak gini, besok Yuan bisa habis di tangan ayahnya karena dianggap cari ulah."
Mulai merasa tidak sabar. Tian bertanya, "Terus ke mana?"
"Pak Dhipta. Kita bawa ke rumah pak Dhipta."
**
Pria itu terbangun begitu saja secara tiba-tiba dengan napas yang berderu cepat. Dhipta kembali mendapatkan mimpi buruk. Mimpi yang sudah lama tidak pernah kembali mengganggu tidurnya, kini datang lagi untuk mengusiknya. Entah apa maksud dari otaknya untuk kembali memimpikan kejadian tiga tahun yang lalu.
Tangannya yang bergetar hebat mengusap wajah yang berpeluh dengan helaan napas keras. Bayangan anak muridnya yang ia temukan tewas di toilet kamar mandi dengan mulut berbusa membuat Dhipta mengalami trauma. Dia bahkan harus mendatangi psikiater demi mendapatkan ketenangan. Karena wajah muridnya yang sudah meninggal itu selalu membuatnya ketakutan dan merasa bersalah.
Setelah mendapatkan serangkaian terapi dan obat penenang, Dhipta mulai bisa kembali berpikir jernih. Dia tidak lagi sering memimpikan muridnya itu, juga ia tidak pernah lagi menyalahkan dirinya akan kematian muridnya.
Matanya melirik ke arah nakas. Haruskah dia kembali mengonsumsi obat yang sudah ia hentikan penggunaannya itu selama beberapa bulan belakangan. Maka Dhipta memutuskan untuk meminumnya, kepalanya jadi terasa sakit ketika harus kembali merasa terbebani dengan peristiwa masa lalu. Dibukanya laci nakas itu. Sebuah tabung berukuran kecil menyapanya, Dhipta meminum satu buah pil dengan air yang ada.
Meminum satu gelas air ternyata terasa tidak cukup. Dhipta mengibaskan selimut yang menutupi setengah tubuhnya, beranjak turun dari tempat tidur. Lampu-lampu di luar kamarnya mati, ruangan jadi gelap gulita. Dia biarkan saja dirinya di tengah kegelapan. Begitu lemari pendingin terbuka, cahaya lampu kuning temaram sedikit menyinari ruangan. Hawa dingin dari dalam kulkas membuatnya sempat bergidik kedinginan.
Dhipta merantau dari kampung halaman di Yogyakarta untuk mencoba hidup mandiri. Kedua orang tuanya sudah tidak ada sejak ia menjadi sarjana. Alhasil, dia harus memutar otak untuk bisa menghidupi adik-adiknya yang masih mengenyam bangku pendidikan saat itu.
Pergi ke kota Jakarta yang dijuluki kota metropolitan. Daya saing untuk hidup di ibu kota negara Indonesia ini jauh lebih tinggi. Sehingga, penghasilan penduduknya rata-rata besar karena kebutuhan hidup di kota ini cukup mahal. Tidak seperti di Yogya yang apa-apa serba murah, otomatis pendapatan penduduknya juga sebanding dengan kotanya yang tidak neko-neko.
Cukup sulit untuk bisa mencapai posisinya yang sekarang. Dhipta harus memiliki beberapa macam pekerjaan hingga akhirnya ia bisa membeli rumah yang tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil ini. Hitung-hitung dia sudah punya sesuatu, jikalau ia ingin menikahi seorang wanita nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
GUILTINESS ✔
Teen Fiction[END] Memangnya apa salah seorang anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan? jawabannya, tidak ada. Lebih tepatnya, tidak ada yang salah dengan anak itu. Tuhan memberinya nyawa untuk menjadi satu bagian yang berarti di dalam hidup kedua orang...