"Makhluk hidup yang namanya manusia, punya rasa malu. Karenanya, manusia itu harus sadar. Bahwa sesuatu yang bukan miliknya, harus rela ia lepaskan. Sebagai bukti, bahwa dia memang seorang manusia."
▪Guiltiness▪
"Gimana? Udah siap semuanya?" Pram dari balik kemudi bertanya penuh dengan jiwa bersemangat.
Dari kursi belakang, tiba-tiba tangan Tian muncul untuk langsung menoyor kepala "Si pengemudi" itu. "Yaelah, kita cuman mau ke puncak, Nying. Semangat lu udah kayak kita mau mendaki gunung!"
Pram tidak gentar. Dia sangat bersemangat bahkan dengan bangganya mengangkat kepalan tangan ke udara. Di samping ada Dhez yang akan bergantian menyetir jika dia kelelahan. Tian ada dibangku penumpang kedua bersama Cindy, sedangkan Yuan dan Bunga ada di bangku penumpang paling belakang.
"Itu yang di belakang jangan mojok-mojok ya. Diem-diem mojok tau-tau bau tuh," Tidak puas mengejek Yuan sedari tadi. Pram terus melancarkan serangan.
"Udah buruan jalan, keburu macet." Dhez memotong perhatian Pram langsung.
Sedari pagi tadi, Dhez selalu ingin mereka cepat-cepat pergi. Seakan-akan ada sesuatu yang harus mengalihkan perhatiannya. Maka, Pram melipat bibir kesal sekaligus mengejek Dhez dengan kedua mata yang memicing. Sudah jelas, sesuatu yang ingin ia alihkan itu adalah kemesraan Yuan dan Bunga tak kunjung pudar.
Mulai dari mereka yang datang bersamaan, Yuan yang begitu perhatian pada Bunga, seperti mengangkat koper, memerhatikan Bunga dari kejauhan hingga mendatangi perempuan itu tanpa perlu dipanggil terlebih dahulu. Bagaimanapun juga, Bunga adalah prioritas bagi Yuan. Tidak peduli apa alasannya, Yuan hanya merasa Bunga adalah sesuatu yang harus ia jaga.
Selagi dia bisa.
Pram berniat mengejek, tubuhnya sedikit dia geser bersama kepala yang berhenti sesenti dari telinga Dhez. "Sabar ya, Dhez. Cemburu itu menyehatkan kok,"
Bug!
Sebuah dorongan dengan hentakan yang cukup keras menimpa Pram hingga laki-laki itu terbentur pada pintu. Tidak tanggung-tanggung, Dhez mendorongnya. Jelas terasa sangat sakit, hingga Pram mengerang tertahan mengelus-elus lengan yang tampaknya akan membiru. Sementara, semuanya hanya tertawa puas bahkan Tian memyumpah-nyumpahi Pram di belakang.
"BURUAN JALAN! ATAU GUA TURUNIN LO SEKARANG!"
Dhez yang sudah mati kutu dan kehabisan akal untuk tidak terlihat risih, berteriak membentak. Semuanya tahu kalau kemarahan laki-laki itu hanyalah pelampiasan dari ketidakberdayaannya.
Laki-laki mana yang bisa melihat seseorang perempuan yang dia sukai duduk bersama dengan seorang laki-laki yang jelas-jelas sangat dicintai perempuan tersebut. Nyaris tidak terjabarkan rasa sakitnya yang tak kasatmata.
Yuan dan Bunga, terlebih Bunga hanya merespon semuanya yang terjadi dengan senyuman malu. Sedangkan, Yuan tidak memberikan ekspresi apa pun. Ketika semuanya tertawa, mungkin hanya dia yang tidak ikutan tertawa. Kedua matanya memandangi Dhez dari belakang, entah dengan arti apa.
Sejenak lamunannya hancur saat dia merasakan sebuah tangan menggenggam tangannya. Sosok itu tersenyum, seakan-akan mentransfer kata-kata bahwa semuanya baik-baik saja. Siapa lagi kalau bukan, Bunga.
**
Mereka sepakat, bahwa sebelum mereka sampai ke puncak dan sebelum mereka menyambangi tempat penginapan, mereka akan berkeliling dulu mencari tempat wisata yang sekiranya mampu melepas penat selama di perjalanan.
Semuanya memilih pantai. Pantai itu berada cukup jauh dari pemukiman warga. Untuk sampai ke sana mereka harus membelah hutan yang sudah dibuatkan jalur mobil agar para pengunjung yang mau berwisata gampang mengaksesnya. Tetap saja, jalanan yang berlubang dan penuh debu tanah merah cukup membuat mereka mengeluh.
KAMU SEDANG MEMBACA
GUILTINESS ✔
Teen Fiction[END] Memangnya apa salah seorang anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan? jawabannya, tidak ada. Lebih tepatnya, tidak ada yang salah dengan anak itu. Tuhan memberinya nyawa untuk menjadi satu bagian yang berarti di dalam hidup kedua orang...