Guiltiness | 28

3.6K 327 40
                                    

Semua hancur. Semua tidak berjalan sesuai rencana yang semestinya. Kali ini, takdir mengkhianati rencana mereka.

Belum sempat Yuan menerima kebahagiaan. Dia bahkan belum sempat melihat lilin ulang tahunnya menyala, apalagi sekedar memotong kue ulang tahun spesial itu.

Sore kemarin, ketika semua orang sibuk menyiapkan kebahagiaan untuk Yuan, satu-satunya tujuan mereka berada di sana. Ketika Yuan sudah tahu, apa yang menjadi alasan semua orang begitu rela berepot-repot membawa segala barang-barang yang sekiranya mampu memeriahkan acara nanti malam. Keriuhan yang membahagiakan itu hancur hanya karena sebuah dering telepon yang merubah segalanya.

Dering telepon itu seakan terdengar lebih nyaring daripada biasanya. Tidak ada intuisi apa pun yang menyatakan, akan ada sebuah berita buruk tersampaikan dari balik dering telepon itu. Yuan berdiri bersembunyi dari hadapan semua orang yang gencar mencoba membahagiakannya, mengangkat ponsel genggamnya yang tiada henti berdering tadi, dengan ketidaksiapan.

Suara isak tangis menjadi suara awal yang tertangkap oleh telinga. Sesaat setelah itu, hatinya yang tampak biasa aja, seketika serasa teriris saat deretan kata keluar dari balik isak tangis si penelepon.

Sang ibu, dilarikan ke rumah sakit.

Mungkin terdengar sederhana, namun untuk Yuan, rumah sakit jika sudah berkaitan dengan ibunya bukanlah sesuatu yang sederhana.

Wanita yang melahirkannya itu dilarikan ke UGD akibat tidak sadarkan diri. Terlebih, ditemukan tidak berdaya di luar kawasan kursi rodanya. Zara ditemukan pingsan di dalam kamar pada ubin dingin yang sangat keras.

Seketika, ketenangan yang ada berganti dengan kepanikan yang teramat sangat. Yuan membuka pintu teras atas dengan emosi membara yang tertahan. Semua orang yang ada di atas sana serentak terkejut. Tawa mereka terhenti karena merasa terciduk oleh seseorang yang ingin mereka berikan kejutan.

Nyatanya, bukan itu. Bukan itu yang menjadi poin dari keadaan itu. Kedua mata Yuan berkaca-kaca, bahkan tangannya mencengkram tangan pintu dengan erat.

"Nyokap gua masuk rumah sakit."

"Gua harus segera balik ke Jakarta."

Dua untaian kalimat itu, melahirkan wajah serius sekaligus terkejut pada beberapa manusia yang berdiri di hadapannya. Tian segera meletakan pernak-pernik yang ada di tangannya dan berjalan menghampiri Yuan yang dia paham bagaimana perasaannya saat ini.

"Gua yang nyetir buat nemenin lo balik ke Jakarta."

"Nggak usah. Gua sendiri aja." tepis Yuan langsung.

"Lo nggak mungkin bawa mobil sendiri, Yu! Lo lagi panik!" Tian tidak kalah berkeras diri.

"Bener, Yu. Lo lagi panik." Pram dari belakang menyetujuinya.

Kalut. Hanya itu yang menguasai hati dan otaknya saat ini. Yuan ingin menangis, namun tidak tahu pasti apa alasannya bisa menangis. Kedua bola mata itu bergerak memandangi Bunga yang sepertinya nampak khawatir juga padanya.

Pada akhirnya, dengan segala pertimbangan. Juga dengan anggukan Bunga juga setuju dengan Tian. Yuan mengalah. Dia membiarkan Tian menyetir untuknya. Yuan juga tidak mau nyawanya merenggang karena keegoisannya, membuatnya bahkan tidak akan bisa menemui ibunya karena emosi belaka.

**

Dia tidak peduli dengan betapa lelahnya dirinya setelah satu setengah jam berada di jalanan. Tidak pernah sedetikpun Yuan membiarkan dirinya tertidur, malah dia terus berdoa dalam hati agar Zara tetap diberikan perlindungan.

Sudah dia katakan, kebahagiaan tidak pernah sudi untuk mampir sekejap saja di dalam kehidupannya. Seakan dia adalah seseorang terkutuk yang tidak akan pernah bisa merasakan maksud dari kebahagiaan itu sendiri.

GUILTINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang