Guiltiness | 16

3.8K 370 32
                                    

"Sesuatu yang berarti di mata kita,
belum tentu berarti juga di mata orang lain.
Bahkan di mata seseorang yang kita anggap berarti."

GUILTINESS ▪

Konser akhirnya berakhir. Seluruh anggota grup tersenyum lebar di hadapan para penonton yang berdiri dengan tepuk tangan meriah. Grup serentak merapatkan barisan, saling bergandengan tangan dan membungkuk serempak setelah ketua grup memberikan aba-aba. Tepuk tangan semakin meriah, malam semakin larut dan di balik tertunduknya wajah juga tubuh mereka seluruh anggota menghela napas lega.

Mereka puas dengan konser malam ini. Berjalan sangat lancar, tanpa kesalahan dan kekurangan apa pun.

Tak terasa ruang pertunjukan yang tadinya penuh dan begitu ramai, perlahan-lahan kembali sunyi setelah kepergian seluruh penonton. Bunga berjalan menyelusuri kursi-kursi penonton yang dirancang senyaman mungkin. Kursi berbusa tebal dilapisi beludru itu membuat Bunga ingin mengistirahatkan diri sejenak di sana.

Bunga memilih duduk di kursi yang seharusnya, menjadi tempat duduk Yuan sewaktu pertunjukan berlangsung. Tangan kurusnya mengelus lembut kursi beludru itu, kemudian dia melempar tubuhnya ke sana. Kepala Bunga memandang lurus ke arah panggung. Berilusi seakan-akan dia menjadi Yuan yang sedang menonton pertunjukannya sejam yang lalu.

Tak perlu diperintahkan dan dipaksakan, air mata lantas jatuh begitu saja. Bunga mengusap kasar matanya dengan lengan hoodienya yang kebesaran. Seketika bulu mata palsunya lepas. Bunga merasa begitu bodoh dan hampir menyerah.

Bayangkan saja, Yuan secara tidak langsung menolaknya. Bunga tidak sedang menunggu jawaban dari sebuah pernyataan cinta. Dia hanya meminta seseorang yang ia cintai datang dan menyaksikannya di konser pertama. Seseorang yang akan jauh membuatnya lebih bahagia jika sosok itu ada di sana. Haruskah dia bertahan dan tidak melepaskan Yuan?

Selintas apa yang pernah Cindy ucapkan kepadanya terbesit.

"Lo bisa apa, Bung? Lo masuk ke dalam kehidupan seseorang dan kalau orang itu nggak menerimanya, mau nggak mau lo harus ngelepasin dia. Nggak segampang itu masuk ke kehidupan orang lain, Bung. Kalau dia suruh lo pergi, ya lo harus pergi. Jangan mempertahankan sesuatu yang hasilnya bakal sia-sia."

Bunga menutup kedua wajahnya dengan tangan terbuka. Menangis sejadi-jadinya di tengah keheningan ruangan persegi panjang yang sangat luas itu.

Mengapa cinta pertamanya harus sesakit ini? Inikah sebab yang membuat orang dewasa selalu bilang, jiwa-jiwa muda tidak akan bisa bertahan dengan yang namanya cinta. Jiwa-jiwa muda akan terombang-ambing layaknya mayat yang mati di tengah lautan. Hanya bisa mengikuti arus ombak, berharap-harap cemas untuk segera sampai di pesisir pantai akibat dorongan ombak.

Mereka jiwa-jiwa muda hanya bisa berharap-harap cemas, mendapatkan jawaban yang mereka inginkan. Sebuah penerimaan.

Suara langkah kaki menggema di tengah keheningan. Bunga menghentikan suara tangisnya. Bersugesti menyuruh dirinya untuk tenang dan tidak melanjutkan tangisnya. Kemudian kedua kepalanya yang tertunduk terangkat. Sosok seniornya berdiri jauh di depannya, di atas panggung pertunjukan. Bunga menarik lengan hoodienya yang kebesaran, hawa dingin tiba-tiba menyusup membuat bulu kuduknya merinding.

"Makasih buat kerja keras kamu hari ini." ujar senior itu dari atas sana.

Bunga tersenyum paksa dan mengangguk. "Sama-sama, Kak. Makasih juga buat kerja keras Kakak."

"Ada sesuatu 'kan, Bung?" tanya perempuan berkacamata bingkai tipis itu.

Dia sangat peka. Dugaannya mengenai sesuatu yang tak beres dengan Bunga nampaknya menemukan titik terang. Segala rasa penasarannya sejak di ruang ganti terkuak saat Bunga secara tidak sengaja meneteskan air mata di lagu pertama mereka. Anggota grupnya menjalankan kewajiban di tengah tekanan yang tidak ia ketahui apa tekanan itu. Hanya saja, perasaan takjub tak terbendung. Tidak mudah tampil sempurna di tengah kekalutan hati.

GUILTINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang