Guiltiness | 32

3.3K 342 23
                                    

Dia mematut diri pada cermin.

Mata elang yang diisi oleh bola mata hitam legam itu memicing, kemudian sudut bibirnya terangkat menertawakan sosok yang ada di sana. Sosoknya sendiri yang tidak dia habis pikir bisa bertahan sejauh ini.

Bekas kebiruan samar-samar membekas pada beberapa bagian tubuhnya. Yuan menyentuh memar di antara rongga dada dan perut lalu menekannya. Rasanya sakit, tapi terasa bukan apa-apa karena dia jauh merasakan rasa sakit yang lebih menyakitkan dari pada itu.

Tubuhnya berbalik. Sorot mata yang kosong itu nanar saat melihat bekas luka jahit yang masih sangat nyata. Bekas luka itu bukan lagi sebuah rahasia. Selain ketiga sahabatnya yang sudah tahu, Bunga juga sudah tahu.

Dia belum menjelaskannya dari mulutnya sendiri. Tetapi, sepertinya salah seorang dari ketiga sahabatnya sudah menjelaskannya terlebih dahulu. Yuan tidak keberatan akan hal itu, karena baginya untuk menceritakannya sendiri juga terlalu sulit.

Lagi-lagi masih teringat dengan jelas peristiwa itu. Mungkin karena peristiwa itu terjadi sewaktu ia masih kecil, jadi setiap menit dan detik peristiwa itu tidak pernah dia lupakan. Dan peristiwa itu juga, benar-benar membuatnya mengerti dan sadar bahwa dia bukanlah anak yang disayangi ayahnya seperti teman-temannya yang lain waktu kecil dulu.

Ibunya selalu memberi alasan baik dan berpura-pura mengubah keadaan yang pahit menjadi tetap terasa manis. Ketika ayahnya tidak pernah pergi dengannya, mengajaknya bermain layaknya ayah-ayah yang lainnya, ibunya hanya bisa memberikan alasan.

"Papanya Yuan sibuk sekali. Papanya Yuan kerja dari pagi sampai malam buat Yuan. Buat beliin mainan-mainannya Yuan."

Alasan klasik yang menurut Yuan sah-sah saja dikatakan ibunya sewaktu dia masih kecil dulu. Namun, pernah suatu hari, ketika Yuan ingin sekali pergi dengan Hendra ke taman bermain karena melihat beberapa anak laki-laki sepertinya ditemani oleh ayah-ayah mereka di sana. Yuan memaksa, dia bahkan merengek-rengek ingin pergi bermain dengan Hendra yang saat itu bahkan sedang ada di luar kota.

Zara waktu itu memberikan pengertian, tetapi sulit diterima oleh Yuan karena dia sudah sangat ingin. Malamnya, saking tertekannya, tubuhnya sakit. Suhunya mencapai 39 derajat. Yuan tidak sadarkan diri. Zara seorang diri dengan supir yang sellau stanby membawa Yuan ke rumah sakit dan beruntung tidak terlambat. Saat bangun, Yuan pun kembali bertanya di mana ayahnya.

Serta jawaban yang bisa Zara berikan. "Yuan, papanya Yuan itu seperti superman. Papanya Yuan nggak pernah bisa nemenin Yuan main karena dia mau ngelindungin Yuan. Banyak orang yang punya niat jahat sama Yuan kalau lihat Yuan main sama papa. Jadi karena papa nggak mau Yuan terluka, papa harus jauh-jauh dari Yuan buat melindungi Yuan."

Itu. Itu jawaban yang bisa Zara berikan ketika Yuan siuman dari pingsan akibat demam tinggi, saat dia menangis sambil bertanya kenapa Hendra tidak pernah ada bahkan tidak pernah mau bermain dengannya seperti ayah-ayah pada umumnya.

Kedua mata elang itu memejam. Yuan mengingat semuanya dengan jelas sampai peristiwa didorongnya dia pada cermin itu membuatnya mengerti bahwa dia tidak pernah diingini. Kehadirannya dianggap mengganggu dan merusak keadaan yang ada.

Kedua mata elang itu kembali terbuka. Sudut matanya yang kecil meneteskan sebuah cairan bening yang pernah ia janjikan tidak akan keluar untuk mengingat hal-hal itu. Yuan ingin berkeras diri terhadap masa lalunya dan menjadi kuat terhadap masa depannya yang akan jauh lebih terasa menyakitkan.

Skenario, tidak sampai di situ. Sebuah cairan lain menetes. Mata kecilnya bereaksi ketika ia merasa hidungnya mengeluarkan sebuah cairan merah yang mengalir cukup cepat. Bau yang khas dari cairan itu, tidak membuatnya bingung. Maka, Yuan segera menangkupnya, dia tidak mendongak namun membiarkan kepalanya rata. Matanya mengitari seisi kamar untuk mencari penyeka, entah tisu atau kain apa pun.

GUILTINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang