Guiltiness | 11

4K 377 20
                                    

Yuan keluar dari persembunyiaannya. Wajah itu tampak begitu tenang padahal dirinya sedang sangat marah. Kedua matanya melihat langsung apa yang Bella lakukan. Perlakuannya yang kekanak-kanakan dan sangat tidak bermoral membuat Yuan geram. Tetapi kakinya tidak dapat melangkah untuk mencaci perempuan itu, Yuan yang pengecut hanya bisa berdiri di balik dinding dengan tangan terkepal.

Dari kejauhan ia melihat Bunga dan Cindy bergerak menghampiri posisinya saat ini. Lagi-lagi karena pengecut, Yuan berjalan cepat kembali ke persembunyian.

"Sumpah ya, baru kerasa banget beratnya jadi anak IPA." eluh Cindy sembari merapikan ikatan rambutnya.

"Yaa..mau gimana lagi. Jalanin aja, 'kan?" tanggap Bunga.

Langkah mereka begitu santai, benar-benar tidak bisa merasakan kehadiran Yuan. Bunga pun bertingkah normal, dia masih belum mengetahui bencana apa yang akan menunggunya.

"Lo perhatiin aja deh, Bung. Muka anak IPS dibandingin anak IPA kalau keluar kelas. Pasti muka kita pada merah gara-gara darah naik sampai di ubun-ubun, sementara anak IPS kalau keluar kelas cengengesan.  Gue jadi nyesel jadi anak IPA,"

"Hus! Nggak boleh nyeselin apa yang udah lo pilih. Jalanin aja, Cindy..."

Memberikan saran dan kata penenang untuk orang lain memang gampang. Sementara mempraktekannya kepada diri sendiri sulit.

Bunga tersenyum lebar kepada Cindy, mencoba meyakinkan temannya itu bahwa dia pasti bisa melewatinya. Sembari memasangkan kunci pada lokernya dan hendak membuka loker itu.

Betapa terkejutnya Bunga saat melihat apa yang terjadi di dalam sana. Loker kotor sekali. Pasir yang tampaknya lembab itu mengotori buku-buku pelajaran dan barang-arang unik yang ia simpan di dalamnya.

"Lo-loker lo kenapa, Bung?"

Bunga hanya bisa bungkam. Menelan kepahitannya sendiri. Menyelamatkan barang-barang yang sekiranya tidak terlalu terkotori oleh pasir cokelat itu.

"Baju olahraga lo gimana dong?"

"Ah...gue izin aja kayaknya." jawab Bunga dengan nada lemas.

"Serius? Hari ini 'kan ambil nilai pertama."

Bunga menatap Cindy dengan wajah muramnya, kemudian berusaha tertawa meskipun rasanya ingin menangis.

"Mau gimana lagi,"

Cindy terdiam. Dia berjalan menghampiri lokernya, berharap ada satu celana olahraga cadangan yang ia tinggalkan di sana.

"Bunga! Gue ada celana training nih." serunya bersemangat.

Seperti tidak ada mood lagi, Bunga hanya menanggapinya dengan wajah malas.

"Nggak usah, Ndy. Makasih." masih terus berusaha membersihkan lokernya dengan tangan telanjang. Bunga mengeruk sendiri pasir itu dengan tangannya lalu ia masukan ke dalam plastik.

Barang-barangnya ia harap bisa ia bersihkan entah dengan cara seperti apa.

Yuan tidak kunjung keluar dari posisinya. Hanya terdiam mendengar suara Bunga yang tampak seperti ingin menangis. Apa yang harus ia lakukan? Keluar lalu membantu Bunga? Tidak bisa. Yuan tidak bisa. Kakinya bahkan tidak mau melangkah keluar. Entah apa yang terjadi dengannya. Tidak ada keberanian yang ia miliki untuk sekedar melihat Bunga secara langsung. Yuan takut, bahwa jika semakin mendekati Bunga, perempuan itu akan semakin tersiksa. Berada di dalam permainan yang mungkin akan pada akhirnya akan berakhir layaknya novel-novel percintaan zaman sekarang.

Menyedihkan.

"Eh? Pram!" Cindy berseru ketika dari kejauhan matamya menangkap Pram, Dhez dan Tian mendekat.

GUILTINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang