Hari selasa. Masih merupakan hari terkutuk untuk anak sekolah. Tetapi, mau tidak mau, rutinitas harus tetap berjalan.
Kelas yang bentuknya bak persegi panjang itu, perlahan-lahan riuh. Suara cekikikan, suara teriakan, dan suara sapaan pagi yang hangat beriak sana-sini. Kelas dipenuhi manusia berseragam warna serasi, putih abu-abu. Warna khas anak SMA yang sedang gencar mencari jati diri.
Yuan tidur di pojok kelas, tepat di atas bangkunya sendiri. Kedua lengan terlipat di atas meja, kepala disembunyikan di balik lipatan. Peluh bercucuran di dahinya, tak ada yang tahu, tangannya mencengkram erat udara.
Sakitnya, tidak kunjung enyah seperti dua hari lalu. Setiap pagi, sensasi sakit bak dipukul benda tumpul selalu mengintai. Seharusnya, ada obat yang bisa mengurangi rasa sakit itu. Obat yang dibuangnya kemarin tanpa rasa takut.
Seingatnya, dia baik-baik saja beberapa menit lalu. Entah mengapa, tiba-tiba sakit itu datang tepat ketika kakinya menginjak ubin kelas yang senyap. Membuatnya hingga sekarang hanya bisa meringis dalam kegelapan.
Semua orang pikir dia tertidur. Sama seperti pikiran kedua sahabatnya. Pram dan Tian sampai di kelas bersamaan. Tian melempar begitu saja ranselnya dari kejauhan dengan profesional. Tak perlu khawatir akan membangunkan Yuan yang dikiranya tidur.
Yuan tidak pernah terganggu oleh apa pun jika sedang terlelap. Itu sebabnya, dia diberi julukan "kebo rupawan" oleh ketiga sahabatnya.
Meskipun begitu, Tian mencobs menepuk bahu Yuan. "Yu?"
"Hmm ...." Deheman lemas itu mengejutkan kedua Tian dan Pram.
"Kirain lo tidur."
Tidak ada lagi jawaban.
Tian duduk di bangku Pram sedangkan pemiliknya memilih duduk di atas meja. Untuk sekarang masih aman-aman saja karena jam belajar belum mulai. Jika kelakuan Pram itu tertangkap oleh salah satu guru, tipis bokongnya karena berhantaman dengan penggaris kayu lima puluh kali. Meskipun demikian, dia tak jera. Mereka berempat lebih tepatnya yang tidak pernah jera.
Mereka berdua masih belum sadar dengan keadaan Yuan.
"Eh, eh, katanya ada anak baru," cicit Pram sambil mengunyah permen karetnya.
"Cewek?" Tian tampak antusias.
Pram mengangguk.
"Lo tau, Yu?" Tian bertanya.
Dengan lemas Yuan menjawab, "Udah."
Mata Tian memandangi Pram dengan lebar. Ada keajaiban. Sejak kapan Yuan peduli dengan hal-hal seperti ini. Sampai tak lama, sosok yang mereka dibicarakan datang.
Bunga dengan senyuman ramah menyapa beberapa orang yang tersenyum kepadanya. Mata cokelat itu meliar ke seisi kelas, sempat berhenti sesaat di sudut pojok, tepat ke arah ketiga laki-laki itu.
Pram heboh. Beranjak turun dari meja, memukulnya keras dengan tangan kosong. "Kenapa dia lihatin kita?!" tanyanya berteriak. Beruntung kelas sedang ramai-ramainya.
"Gua juga nggak ngerti. Jangan-jangan ...." Mata mengarah ke Yuan yang masih bergeming.
Sesungguhnya, Yuan bereaksi dari balik lipatan lengannya. Kedua mata terbuka memandangi kegelapan yang menguasainya. Perempuan yang diketahuinya bernama Bunga, ternyata benar-benar satu kelas dengannya.
Kepala itu akhirnya diangkat perlahan, Yuan bersandar lalu mengernyit sedikit karena sinar matahari yang menyilaukan. Jari-jari kurus itu memijat pangkal hidung.
Pram terkejut begitu melihat wajah Yuan yang pucat dan lemas. Dia tahan tangan Yuan ketika laki-laki itu dengan gontai berdiri dari bangku dan sempat sedikit terhuyung.
KAMU SEDANG MEMBACA
GUILTINESS ✔
Teen Fiction[END] Memangnya apa salah seorang anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan? jawabannya, tidak ada. Lebih tepatnya, tidak ada yang salah dengan anak itu. Tuhan memberinya nyawa untuk menjadi satu bagian yang berarti di dalam hidup kedua orang...