"Tuhan t'lah memberikan porsi kebahagiaan yang tepat untuk masing-masing umatnya.
Jadi, bukanlah sebuah masalah jika umatnya itu menjadi serakah hanya untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan."▪GUILTINESS▪
Yuan membuka matanya perlahan-lahan. Mengerjap-ngerjap sesaat ke arah langit-langit kamarnya lalu menghela napas. Tangan kurusnya terkepal lemas, bergerak memukul-mukul titik sakit pada kepalanya. Kening mengernyit dalam. Tampaknya rasa sakit yang muncul itu menyuruhnya untuk segera bangun. Di samping itu perut pun terasa perih, dia butuh makan.
Pelan-pelan Yuan bergerak bangun. Kepalanya menoleh sesaat ke arah jendela yang sudah tampak bercahaya. Matanya melirik jam wekernya yang di atas nakas. Pukul 15.30. Bukan sesuatu yang mengejutkan.
Yuan butuh obatnya. Obat yang Reza berikan guna meredakan sedikit demi sedikit rasa sakitnya. Hari ke hari, Yuan merasa bahwa tubuhnya semakin tidak enak. Ada rasa sakit yang tidak bisa dijelaskan secara rinci, rasa sakit itu membuatnya ingin selalu berada di atas tempat tidur. Mungkin, ini hanya kesimpulan yang berusaha Yuan ambil sendiri. Mungkin, rasa sakit itu pertanda bahwa penyakit itu semakin ganas. Jelas saja, Reza memaksa Yuan untuk tinggal di rumah sakit.
Dia sampai di dalam sebuah ruang yang ada di dalam kamar mandinya. Ruangan yang memiliki wastafel juga kaca yang cukup besar. Ada lemari penyimpanan beraksen kayu di sana. Obatnya, ia simpan terselubung, di balik segala keperluan pribadinya yang berjejer berdiri di barisan depan.
Tabung kecil itu Yuan buka dengan tenang. Mengambil dua pil putih itu lalu menelannya tanpa air. Yuan memandang cermin sesaat. Miris memandangi dirinya sendiri, mungkin dia harus membasuh sedikit wajahnya dengan air.
Suara alarm pintu apartemen yang terbuka mengalihkan perhatian. Yuan beranjak keluar, ternyata Mbok Marni masuk dengan senyum mengembang. Sempat terkejut saat matanya menangkap Yuan berdiri memandang ke arahnya. Wajah Yuan yang tampak pucat membuat mbok Marni bertanya-tanya, tapi saat tuan mudanya itu mengulas senyum, mbok Marni melewatkannya.
"Baru datang, Mbok?" tanya Yuan dengan suara bassnya yang serak.
"Nggak, itu Mbok abis ngantarin temannya Aden."
Kening Yuan langsung meresponnya dengan kerutan.
"Teman?"
"Iya, teman Aden. Cewek. Ah! Mbok lupa nanya namanya, Den."
Ketika mbok Marni mengatakan bahwa temannya yang datang perempuan, bahu Yuan menegang. Matanya menatap mbok Marni dengan selidik.
"Kenapa tho, Den?"
Yuan menggeleng saat tersadar dari lamunannya.
"Ciri-cirinya?"
Mbok Marni mulai berangan-angan, membayangkan wajah Bunga dan penampilan Bunga yang ia ingat.
"Anaknya cantik, tingginya se.. bahunya Den Yuan, matanya besar terus rambutnya bergelombang."
"Bunga." lirih Yuan langsung.
"Owalah... Namanya Bunga tho, Den? Cantik kayak orangnya ya," saut mbok Marni langsung.
Tak terasa bibir itu melengkung. Mata besar Bunga selalu membuatnya ingat akan sosok itu. Bagaimana cerahnya manik itu ketika Yuan meresponnya. Bunga memang cantik, Yuan akui itu. Kecantikannya yang diperkuat dengan kelembutan membuat Yuan tidak bisa berpaling, tanpa ia sadari.
Yuan sadar, Bunga terlihat begitu bahagia dengan interaksi mereka beberapa hari belakangan. Yuan memang tidak banyak berkata, namun dia mulai sering meladeni perempuan itu sekecil apa pun tindakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GUILTINESS ✔
Teen Fiction[END] Memangnya apa salah seorang anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan? jawabannya, tidak ada. Lebih tepatnya, tidak ada yang salah dengan anak itu. Tuhan memberinya nyawa untuk menjadi satu bagian yang berarti di dalam hidup kedua orang...