Guiltiness 49

4.6K 390 54
                                    

Kegelapan adalah keadaan yang menyambut Reza pertama kali saat kakinya menginjak lantai rumah yang dingin. Wajar, karena hari sudah sangat larut. Bunga sengaja tidak dikabari agar perempuan itu tidak perlu menunggunya.

Kepulangannya, bisa dikatakan cukup mendadak. Reza meninggalkan Yuan dengan beberapa suster yang akan siaga dan segera memanggilnya jika sesuatu terjadi.

Mengingat dia belum melihat keadaan Bunga sama sekali. Mengingat sudah lama dia tidak menemani tidur Bunga  Reza tidak tahu bagaimana kondisi psikis Bunga saat ini. Yang jelas, dia cukup mendengar beberapa cerita dari Pram.

Katanya, anaknya sering menangis. Katanya, Bunga tidak lagi percaya kepada Pram, Tian, dan Dhez. Katanya, mereka bertiga dengan terpaksa harus membuat Bunga tidak tahu apa-apa seperti sekarang. Dan katanya, karena tidak tahu apa-apa juga tidak bisa melakukan apa-apa, anaknya itu terpuruk.

Reza tidak layak menyalahkan orang lain. Apalagi menyalahkan Yuan karena menjadi akar dari permasalahan. Reza pun merasa patut dipersalahkan. Sebab dia tahu keadaan Yuan kritis, namun mulutnya tidak bertindak memberi tahu Bunga.

Memang sengaja, dia tidak mau anaknya terpuruk. Dan, dia sedang menunggu keajaiban yang Yuan bilang akan datang karena Bunga. Reza masih mempercayai hal itu.

"Hhh ..." Reza menghela napas.

Dibukanya jaket jeans yang memberi aksen kulit pada kedua lengannya, lalu melemparkannya pada kepala sofa di ruang tamu. Kemudian, melempar tubuh sejenak pada kursi berbusa tebal itu dan kepala mendongak menatap langit-langit rumah.

Selesai melepas penat karena macetnya ibukota, Reza mulai melangkah lagi. Menaiki satu per satu tangga rumah yang sangat dingin. Karena hujan turun dengan deras di luar. Angin luar rumah masuk melalui celah-celah pintu yang tak rapat.

Reza tidak mengetuk lebih dulu kamar Bunga. Dia tidak ingin membangunkan anaknya yang pasti sudah tertidur. Langkahnya dibawa perlahan-lahan. Dia masuk karena ingin melihat wajah Bunga yang sangat dirindukan. Sebab, beberapa hari belakangan, mereka hanya saling berkomunikasi melalui telepon.

Gundukan di atas tempat tidur itu terlihat. Rangkaian lampu kuning kecil yang tertempel di dinding, menjadi satu-satunya sumber pencahayaan.

Bibir Reza bergerak naik ketika melihat beberapa rentetan polaroid terpasang di dinding kamar anaknya. Foto-foto mereka di depan piano. Foto-foto mereka yang sedang berenang. Ada juga foto-foto Bunga dan teman-temannya. Cindy, Dhez, Tian, Pram, dan tentunya-- Yuan.

Mata Reza menyorot sedih. Terlihat jelas kalau anaknya bahagia sekali berdiri di samping Yuan sembari saling berpegangan tangan. Mereka memandang satu sama lain. Tubuh Bunga yang pendek mendongak untuk bisa menatap kedua mata kecil Yuan.

Reza mulai mendekati tempat tidur Bunga. Rupanya benar, anaknya sudah tertidur. Dia membenarkan letak selimut yang menyelimuti tubuh kecil itu. Kemudian, menunduk perlahan untuk mengecup pucuk kepala Bunga.

Namun, kecupan itu malah justru membuat anak perempuannya terbangun. Bunga melenguh. Tubuhnya berbalik memandang ke arah Reza. Tersenyum sambil mengucek-ngucek kedua matanya.

"Papa kira kamu udah tidur nyenyak."

"Kebangun karena Papa cium," jawab Bunga.

Dia mengibas selimut yang membalut hampir seluruh tubuhnya. Menyalakan lampu kecil di atas nakas. Tersenyum lebar memandangi ayahnya yang sudah lama tidak ia temui.

Di sisi lain, Reza terketuk hatinya saat cahaya mulai cukup untuk pandangannya. Wajah Bunga yang tampak tidak seperti biasanya. Sesaat dia membenarkan apa yang Pram ceritakan. Anaknya yang terpuruk.

GUILTINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang