Guiltiness | 47

5.2K 396 51
                                    

Berulang kali Dhez memanggil nama Yuan, tetapi tidak ada jawaban. Sebuah bukti bahwa rupanya Yuan memang benar tidak baik-baik. Seseorang yang sakit seperti itu berada di dalam sebuah bilik toilet selama sejam, benar-benar bukanlah hal enteng.

Tidak lagi memikirkan konsekuensi apa pun, Dhez mendobrak pintu itu bersamaan dengan aba-aba yang diberikan Tian. Mereka langsung menemukan Yuan yang pingsan dengan seragam yang nyaris kering di tubuhnya, juga bekas darah yang mulai menguap karena udara. Sahabat mereka itu terlihat tidak berdaya di pojok bilik. Pucat pasi, lemas, dan kedinginan.

"Yu," panggil Dhez pelan.

Yuan belum sadar.

"Yuan!" Tian yang menyentak kali ini, menepuk pipi Yuan.

Yuan terbangun. Dia seperti orang gila yang ketakutan menemui dokter kejiwaannya. Memberontak dan melindungi wajah dengan kedua lengan.

"Ini kita, Yu! Gua, Dhez sama Tian!"

Dhez merampas tangan Yuan yang hampir memukulnya. Membiarkan lelaki bermata hitam itu menatapnya agar percayai perkatannya. Dan, berhasil.

Kedua pupil Yuan yang membesar mengecil, tangannya yang gemetaran dipakai membenarkan posisi tubuhnya yang bersandar di dinding bilik. Dia tersadar. Yuan kembali ke dirinya yang berusia tujuh belas tahun. Memori lama yang menyakitkan itu tertidur kembali.

"D-Dhez?" ucapnya terbata.

"Iya, ini gua." Dhez menjawab lirih. Dilepasnya jaket yang ia kenakan, menyampirkannya ke tubuh kurus Yuan. Sungguh tidak mampu melihat lelaki itu seperti ini. Sakit. Dia sulit bernapas. "Ada apa sama lo, Yu?"

Yuan masih kebingungan. Dia tidak ingat apa pun. Yang dia ingat, dia meninggalkan Bunga ketika penyakitnya kambuh. Yang dia ingat, Bunga menangis karena dia membentak perempuan itu untuk pulang sendiri.

"Bunga?"

"Bunga udah pulang sama Pram. Nggak usah lo pikirin," jawan Tian.

Kepalanya masih sakit, sedikit dan tubuhnya sangat lemas. Yuan tidak mampu untuk bangkit.

"Gua udah bilang kalau lo harus ke dokter Reza, Yu. Apa sulitnya datang ke sana dan biarkan dokter Reza mengobservasi lo." Mulut Tian tidak bisa tidak mengomel. Karena memang benar, kalau saja Yuan tidak keras kepala, lelaki itu akan baik-baik saja.

Namun, Dhez merasa kalau memarahi Yuan bukanlah saat yang tepat sekrang. Lelaki itu terlihat butuh penanganan medis. Itu sebabnya dia menatap tajam Tian dengan bibir terkatup rapat.

"Kita bawa lo ke rumah sakit."

"Nggak perlu."

"Yu!" sentak Tian.

Yuan tepis kasar tangan Dhez dan Tian yang memapahnya. Dia berjalan sembari meringis keluar dari bilik itu. Menyangga pada dinding toilet yang dingin.

Sesampainya di luar, dia pandangi langit sore yang kemerahan. Arena permainan dufan sudah sepi. Dalam hati bertanya, sudah berapa lama dia di dalam sana? Bagaimana nasib Bunga? Apakah perempuan itu baik-baik saja? Sungguh lelaki yang tidak berguna dia ini, umpatnya pada diri sendiri.

Yuan ingin sendiri. Dia tidak ingin merepotkan siapa pun lagi. Dia juga tidak peduli jika dijalanan nanti dia mati. Rasanya, apa yang terjadi hari ini, merupakan satu bukti bahwa dia tidak memiliki harapan lagi. Dia berharap semua orang meninggalkannya. Mengacuhkannya. Membuangnya seperti yang dulu pernah dilakukan keluarganya.

"Yu." Dhez mencoba menghentikan Yuan yang melangkah terseok-seok meninggalkan dia dan Tian. Lagi-lagi ditepisnya tangan itu bahkan dia menanggalkan jaket Dhez yang ada di punggungnya. Melemparnya ke aspal yang hangat.

GUILTINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang