Ketika pukulan kedua Yuan layangkan kepada pria tua itu, Bunga dengan ketakutan merogoh ransel mencari benda persegi empatnya. Tangannya bergetar ketakutan dan ingin segera menghentikan apa yang tengah Yuan lakukan.
Namun berhenti saat, sebuah pukulan justru melayang ke arah Yuan. Atas perintah sosok pria tua tadi, seorang pria muda yang juga ada di sana malah memukul Yuan dengan tiga kali pukulan. Jauh lebih unggul dari pada yang Yuan lakukan.
Berubahlah persepsi Bunga terhadap keadaan yang ada. Dia pikir, Yuan lah yang berbuat ulah di sini, ternyata Bunga salah. Kekasihnya justru mendapatkan lebih banyak siksaan.
Entah, mengapa Yuan tidak melawan, dia justru menutupi wajahnya dengan kedua tangan yang ia angkat layaknya sebuah tameng baja. Nyatanya, itu bukan terbuat dari sebuah baja. Itu adalah tulang yang dibaluti oleh kulit. Bagaimana bisa seseorang tega menginjak tulang manusia seperti itu.
Ingin rasanya Bunga keluar dari persembunyian, namun tidak mungkin. Dia juga tidak bisa melakukan apa-apa. Bunga hanya berharap di dalam hati ada orang sekitar yang melihat peristiwa ini dan membantu Yuan.
Bunga pun tidak mendengar apa kata-kata yang nampak diucapkan dengan sentakan dari mulut pria tua itu. Kedua matanya tidak bisa berpaling dari Yuan yang sudah berhasil berdiri hanya dengan sekali percobaan. Bunga tidak tahu seberapa kuatnya Yuan sampai masih bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Air mata mengalir dari sudut mata. Bunga tidak bisa melihat Yuan seperti ini.
Sampai akhir pertunjukan berhenti saat segepok uang dilemparkan pria tua itu tepat di hadapan wajah kekasihnya. Kemudian, mobil hitam mewah tadi melesat pergi dengan kecepatan tinggi meninggalkan Yuan yang termangu memandangi uang-uang tadi bertebaran.
Bunga lihat. Dia lihat Yuan menangis, namun berusaha untuk tidak mengeluarkan suara dan berusaha tidak terlalu menonjol. Yuan bersimpuh, dia memungut beberapa uang yang masih bisa ia pungut lalu beranjak pergi dari sana dengan langkah terseok.
Hingga saat itu pun, Bunga tidak mencoba keluar untuk berada di samping Yuan. Untuk menanyakan apa yang terjadi, apalagi sekedar menanyakan keadaannya. Tubuh dan kaki Bunga melemas melihat semua yang terjadi. Sadar betapa tidak sederhananya keadaan yang ada. Semua jauh lebih rumit dari pada yang ia kira.
**
Hari buruk telah berlalu. Tidak tahu apakah hari ini akan sama buruknya dengan hari kemarin, atau lebih baik dari hari kemarin, atau bahkan jauh lebih buruk dari hari kemarin. Tidak mencoba untuk menjadi penasaran, Yuan hanya menjalaninya dengan kesiapan diri.
“Den Yuan kenapa nggak langsung ke sekolah aja, tho?” tanya Bi Marni.
Sebab Yuan memang sudah rapi dengan balutan seragam sekolahnya. Walaupun masih sama seperti yang biasa. Kerah kemeja dibiarkan terbuka, menampakan sedikit gambar tato yang terukir di dada.“Nggak enak aja kalau dari apartemen langsung ke sekolah, Bi.” Yuan menjawab dengan senyum samar. Kemudian dia membenarkan posisi selimut yang membaluti tubuh Zara.
Wanita itu tengah tertidur pulas dan Yuan datang untuk sekedar pamit berangkat ke sekolah. Jika biasanya dia tidak bisa melakukan hal itu, sekarang mumpung sang ibu tidak berada di tangan ayahnya, Yuan sebisa mungkin menyempatkan diri datang pagi-pagi sekali untuk sekedar pamit berangkat ke sekolah.
“Saya sekolah dulu, Ma. Nanti malam, saya kesini lagi.” bisiknya lembut pada telinga Zara. Lalu, bergerak mengecup dahi wanita itu dengan lembut.
“Saya pergi, Bi.”
**
Semua murid berlari, bergegas ke tengah lapangan ketika peluit guru olahraga berbunyi melengking. Yuan dan ketiga sahabatnya pun ikut berkumpul dengan kemalasan yang merajalela.Merasa tidak malu sedikitpun Yuan berjalan ke tengah lapangan sambil mengenakan kaos olahraga. Jangan khawatir, dia menggunakan kaos tipis berwarna putih di dalamnya, jadi para murid perempuan tidak akan menjerit melihat pesonanya.
Meskipun begitu, Cindy nampak tergoda. Dia tersenyum dan menonjok sedikit pinggang Bunga yang berdiri di sampingnya dengan siku. Bunga tidak benar-benar menoleh kearah Yuan untuk melihat. Dia menggunakan ekor mata dan bertanya di dalam hati, kenapa Yuan harus mengenakan baju saat hendak pergi ke lapangan.
Dia, cemburu.
Dalam sekejap semuanya sudah masuk ke dalam barisan. Bunga semestinya berada di barisan paling depan, karena tubuhnya yang mungil. Namun, kali ini ia memilih berbaris di bagian belakang selain teriknya matahari, dia ingin memantau Yuan dari belakang.
Kejadian kemarin masih terus membayangi hingga ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Merasa bersalah karena tidak membantu Yuan sama sekali justru malah bersembunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
GUILTINESS ✔
Teen Fiction[END] Memangnya apa salah seorang anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan? jawabannya, tidak ada. Lebih tepatnya, tidak ada yang salah dengan anak itu. Tuhan memberinya nyawa untuk menjadi satu bagian yang berarti di dalam hidup kedua orang...