Walaupun masalah belum selesai, hidup dan aktivitas harus tetap berjalan seperti yang biasanya. Namun, Yuan tidak demikian. Dia menyuruh semua orang yang selama seharian kemarin ikut menemaninya dan memberikan suntikan perhatian untuk kembali pulang menjalani aktivitas mereka masing-masing. Mau menolak dan membantah pun rasanya tidak bisa, sadar kalau mereka memang harus kembali membersihkan diri dan pergi ke sekolah.
Sementara, jelas. Yuan tetap standby di rumah sakit meskipun sempat kembali ke apartemen untuk membersihkan diri.
Tak terasa bel istirahat pertama berdentang. Rasanya mereka baru saja datang dan duduk di bangku masing-masing untuk menikmati suara para guru ‘bernyanyi’.
Bunga keluar dari dalam kelasnya dengan raut masam. Ada rasa aneh di dalam dada ketika Yuan tidak ada di sana. Biasanya dia akan keluar dari kelas dengan kekasihnya yang urakan itu.
Ketika Bunga keluar dengan tampang yang sangat kelelahan akibat berpikir keras di sepanjang KBM berlangsung, laki-laki itu tampak keluar dari kelas dengan raut yang biasa saja. Entah apa yang diserap Yuan sepanjang pelajaran berlangsung, mengerti atau tidak dia, Bunga tidak paham.
Selintas, orang mungkin berpikir bahwa Yuan sangat cuek, masa bodoh dan tidak ambil pusing dengan segala kegiatannya di sekolah. Rupanya, itu semua salah. Yuan terbebani. Ah, tidak! Dia pun berpikir bahwa masa depannya itu penting, terlepas dari masalahnya yang tidak diharapkan memberikan apa-apa kepada orang tuanya, terutama ayahnya.
Bunga berhenti melangkah. Dia menoleh ke belakang dan Nampak tidak terkejut melihat siapa yang sedari tadi membuntuti langkah kosongnya. Dhez, si penguntit itu justru kaget dan merasa terciduk. Gerakan salah tingkah lantas keluar menjadi ekspresi pertama yang dikeluarkannya. Menggaruk kepala dan pura-pura menoleh kearah lain.
“Basi!”
“Kenapa lo ngikutin gue, Dhez?” Bunga bertanya sembari melipat kedua tangannya di dada.
Bukannya dia merasa tidak nyaman, tetapi aneh saja karena laki-laki itu terus membuntutinya tanpa menegur. Seakan-akan seperti mengawasi. Tetapi, untuk apa dia mengawasi? Apa Yuan yang menyuruhnya?
“G-gua nggak ngikutin lo,” Dhez menjawab gugup. “tapi ada yang mau gua tanyain.” lanjutnya.
“Apa?” Dhez bergerak mendekati Bunga. Sesungguhnya tidak yakin untuk mengajukan pertanyaan yang sejak semalam hilir mudik dipikirannya.
“Bokap lo seberapa hebat?”
Bunga terdiam sesaat. Mencoba mencari maksud Dhez.
“Seberapa hebat dia sebagai dokter.” Dhez memperlengkap pertanyaanya. Sadar perempuan itu bingung.
Barulah Bunga menganga mengerti. Awalnya dia berdehem. “Gue nggak tau dia sehebat apa. Yang jelas, dia sangat mementingkan pasien-pasiennya. Meninggalkan mereka dalam keadaan kritis aja, nggak pernah bisa bokap gue lakuin.” Dia berhenti. “Dia sangat memperjuangkan mereka.” lanjutnya kembali.
Tertohok. Dhez menelan salivanya berat.
Jadi, apakah ayah dari Bunga itu bisa menyembuhkan sahabatnya? Tidak! Beliau bukan Tuhan, Dhez tahu itu. Tapi, beliau bisa memperjuangkan Yuan, ‘kan?
Namun, bagaimana bisa dia meminta pertolongan kepada ayahnya Bunga? Kepada orang tua dari perempuanya Yuan sendiri. Bukan hanya akan membongkar rahasia besar, tapi akan menghancurkan dua belah pihak.
Bunga dan Yuan.
Dhez berpikir sekeras itu. Sejauh itu pula. Tanpa dia sadari semesta telah membuat skenarionya sendiri.
“Lo bisa seyakin itu, artinya beliau memang hebat.”
“Kenapa nanya?”
“Cuman.. pengen tau jawaban lo.”
KAMU SEDANG MEMBACA
GUILTINESS ✔
Teen Fiction[END] Memangnya apa salah seorang anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan? jawabannya, tidak ada. Lebih tepatnya, tidak ada yang salah dengan anak itu. Tuhan memberinya nyawa untuk menjadi satu bagian yang berarti di dalam hidup kedua orang...