Guitliness | 44

4K 374 30
                                    

Masa bergulir cepat. Bagaikan hembusan angin di malam hari. Intens. Kesejukannya terasa untuk beberapa saat. Tahu-tahu matahari yang hangat kembali datang membuka lembaran hari yang baru.

Selesai sudah perjuangan mereka sebagai murid kelas sebelas. Kini, sudah bukan waktunya lagi untuk bermain-main. Mereka resmi memasuki masa pendewasaan. Pendewasaan pikiran dan mental. Sudah mulai harus menentukan ke mana masa depan akan dibawa. Tahun ajaran baru. Masa yang baru. Kenangan yang baru. Pengalaman yang baru.

Hari pertama di kelas dua belas. Seperti biasa, bangku-bangku masih kosong. Masih banyak yang beranggapan kalau pada hari pertama, sekolah akan dibubarkan lebih awal. Paling ... baru perkenalan, pembagian jadwal, dan sedikit acara ramah tamah diisi dengan menceritakan masa-masa liburan mereka masing-masing.

Begitu-begitu saja. Tidak ada yang berubah. Manusia, umumnya dan alamiahnya memang suka mengeluh. Saat sedang duduk di bangku SMA mereka mengeluh dan ingin cepat-cepat lulus. Nanti, giliran mereka di bangku kuliah, barulah mereka merengek-rengek, men-flashback kembali kenangan indah di masa-masa SMA.

Hari kedua di kelas dua belas. Bangku perlahan-lahan mulai terisi. Setengah dari tiga puluh bangku sudah terisi oleh penghuninya. Hari ini, Bunga juga sudah masuk sekolah.

Dia tersenyum cerah seperti biasanya. Seperti karakternya. Menyapa Cindy dan menyapa murid-murid lainnya. Posisi bangkunya berbeda dengan posisi bangkunya yang dulu. Ruangan kelas jauh terlihat lebih besar sehingga bisa muat lima baris ke samping dan enam baris ke belakang. Tidak ada pergantian isi murid lagi. Semua murid masih sama seperti kelas sebelas dulu.

"Edodoe, ratu kita telah tiba!" Cindy berseru, berirama, bak seorang oma-oma di Manado. Kampung halamannya yang ia kunjungi selama liburan.

Bunga terkikik. Dia geli sendiri mendegarnya. "Apaan sih lo, Cin!" tepisnya yang langsung menimpuk kepala Cindy dengan buku.

"Welcome back to school, My friend!" Kali ini dia meniru gaya bicara orang-orang Amerika. Tangannya direnggangkan untuk memeluk tubuh Bunga yang sekitar setengah bulan tidak ia temui.

Cindy menoleh ke sana kemari. Melihat tubuh Bunga dari atas sampai bawah. "Mana nih oleh-oleh dari Bali?" tanyanya antusias.

"Oleh-oleh apaan?" Bunga balik bertanya dengan malu-malu.

"Gimana tripnya sama ayank Yuan?" Cindy memainkan alis, lalu menyipit mata selidik.

Bunga beranjak duduk. Menopang wajahnya dengan tangan di atas meja. "Nggak gimana-gimana," jawabnya.

"Ey ... nggak gimana-gimana, tapi dikasih cincin, ya? Doi ngelamar lo di Pantai Kuta?"

Bunga tidak bisa membohongi Cindy. Karena mata perempuan itu sangat jeli. Dia juga bisa melihat ekspresi bahagia Bunga yang luar biasa di hari pertama sekolah ini. Apalagi sebabnya kalau karena perjalanan Yuan dan Bunga ke Bali.

Mereka berdua memang tanpa rencana, secara tiba-tiba berkeinginan untuk pergi keluar dari kota Jakarta. Awalnya bingung destinasi mama yang tepat mereka kunjungi, namun celetukan Bunga yang ingin pergi ke pantai melahirkan destinasi yang tepat. Bali menjadi tujuannya mereka.

Tenang, mereka tidak cuman berdua, tetapi kurcaci-kurcaci Bunga alias ketiga kawanan Yuan itu ikut. Jadi, jangan berpikiran Yuan dan Bunga bisa melakukan hal yang aneh-aneh di Bali. Toh, Bunga memegang kepercayaan Ayahnya. Dia tidak ingin melakukan hal yang jelas-jelas tidak boleh dia lakukan, kecuali satu hal.

Membuat tato.

Di Bali Yuan dan Bunga membuat sebuah tato yang sama. Bunga menangis-nangis. Dia merintih hebat ketika sebuah tato kecil dengan bergambar kompas, terukir di lengan kirinya. Ukuran tato tidak besar sehingga tidak terlihat terlalu mencolok.

GUILTINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang