"Pak, izinin kita bolos ya.. please, please.." Kedua tanya Pram menyatu di dada seperti layaknya memohon.
Sedangkan, Dhipta yang sibuk membereskan beberapa kertas-kertas jawaban muridnya hanya bisa menggelengkan kepala. Bingung sekaligus tidak habis pikir dengan muridnya yang berdiri di hadapannya.
"Kamu sadar nggak sama permintaan kamu itu apa, Pram?"
Pram terbungkam kemudian memikirkan permintaannya yang nampaknya tidak salah.
"I-iya.. saya minta Bapak buat izinin saya, Tian, Dhez, Yuan, Bunga sama Cindy buat bolos sekolah hari jumat depan. Memangnya apanya yang salah, Pak?" Pram justru bertanya balik dengan raut wajah yang sangat polos.
Benar-benar tidak mengenal malu apalagi takut. Itu sebabnya, Pram yang tidak punya muka disuruh mengambil alih menghadap Dhipta guna mendaptkan surat izin.
SMA Harapan memiliki beberapa peraturan tambahan. Mereka mengisyaratkan kepada murid yang ingin izin alias mereka-mereka yang ingin terhindar dari alfa bisa mengajukan izin ke wali kelas masing-masing. Lalu, sebuah surat dispensasi nantinya akan dikeluarkan, isinya merupakan data murid yang izin juga alasan izinnya tersebut. Hal ini membantu beberapa murid agar bisa menyelamatkan presentase absensinya, sebab mereka tidak bisa mengikuti ujian jika absensi di bawah rata-rata.
Meskipun begitu, tidak gampang mendapatkan surat dispensasi itu keluar. Karena butuh persetujuan lagi dari bidang kesiswaan yang notabenenya adalah rintangan di sekolah itu.
"Saya tidak tau kenapa kamu yang disuruh menghadap saya, Pram. Tapi muka memelas dan sok polos kamu itu nggak ngaruh buat saya." tegas Dhipta.
Pram tiba-tiba merengek. Mengerek dengan sangat kencang seperti seorang anak kecil yang diambil permennya secara paksa.
"Aaah, Bapaaak!"
"Saya nggak mungkin mengeluarkan surat dispen berjamaah seperti itu. Kalau hanya satu atau dua orang nggak masalah. Ini enam orang murid, Pram."
Pram tetap merengek bahkan dia menjatuhkan dirinya di lantai. Benar-benar berlagak layaknya anak kecil yang meminta permen. Beruntung ruangan Dhipta hanya diisi oleh dirinya sendiri, tidak digabung oleh guru-guru lainnya. Sehingga, Pram tidak perlu merasa malu. Walaupun sesungguhnya dia sudah tidak kenal lagi dengan kata malu.
"Ah... ayolah, Pak. Kita 'kan jarang minta izin."
"Kalian memang memang nggak pernah minta izin, tiba-tiba bolos yang ada!" cerca Dhipta.
Pram meringis. Karena memang ada benarnya juga.
Dia memohon-mohon seperti ini bukan tanpa alasan. Sebab presentase absensinya sudah di ujung tanduk. Surat permohonan itu harus keluar agar bisa menyelamatkan dirinya juga ketiga sahabatnya.
"Ya udah, kalau gitu Bapak nggak usah ngeluarin surat dispen buat Bunga sama Cindy. Soalnya mereka juga belum pernah bolos, Pak." Untung sekali ide itu terbesit. "Jadi Bapak mau 'kan ngeluarin surat kalau buat kita berempat aja? Ini demi Yuan lho, Pak."
Seketika Dhipta berhenti dari kesibukannya. Kepala itu terangkat memandangi muridnya yang tetap memasang muka polos tak berdosa.
"Yuan? Memang apa hubungannya sama Yuan?"
Gotcha!
Berhasil juga umpannya. Pram dengan jiwa yang sangat bersemangat, cepat-cepat berdiri dari lantai untuk menceritakan rencananya. Sebuah rencana kejutan hebat yang akan dia buat untuk memperingati hari ulang tahun Yuan.
**
"Gimana? Di acc nggak?"
Tian dengan langkah penuh antusias segera menghampiri Pram begitu sosok itu menginjakan kaki di kelas. Yang membuat Pram menghadapi Dhipta adalah laki-lak itu. Tian yang memberi ide agar Pram saja yang mengemis dan berlagak polos sekaligus bodoh untuk bisa mendapatkan surat dispensasi. Dan, Tian percaya diri. Dia yakin sahabatnya itu akan berhasil menjalani misi.
KAMU SEDANG MEMBACA
GUILTINESS ✔
Teen Fiction[END] Memangnya apa salah seorang anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan? jawabannya, tidak ada. Lebih tepatnya, tidak ada yang salah dengan anak itu. Tuhan memberinya nyawa untuk menjadi satu bagian yang berarti di dalam hidup kedua orang...