Guiltiness | 20

4.4K 422 42
                                    

Tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Anggap saja, bahwa tidak ada kejadian memilukan terjadi sehari yang lalu. Anggap saja kalau semua hanyalah kecerobohan dan ketidakberuntungan Yuan malam itu. Siapa pun dalang di balik perbuatan keji itu, Yuan akan menyimpan jawabannya rapat-rapat. Sebab dia sudah mengantongi beberapa nama di dalam genggaman.

Meskipun demikian, tidak pula Dhez dan Tian berpikiran sama. Mungkin mereka bisa terlihat tenang dan tidak terlihat berpikir apa-apa, namun ada sebuah rencana dan penyelidikan yang mereka lakukan tanpa perlu mendesak Yuan untuk buka mulut menyampaikan siapa pelakunya.

Seperti biasa, Yuan tampak masa bodoh. Dia tampak sangat cuek dan tidak menghiraukan pandangan orang-orang yang sudah pasti tengah memperbincangkannya. Di sepanjang perjalanannya menuju kelas, semua mata memandang kearahnya. Perban cokelat pada lengan kanan dan beberapa luka yang belum mengering pasti menjadi sorotan utama.

Nekat adalah motto hidupnya, karena nyatanya tangan itu tidak seringan itu kondisinya. Cedera yang ia alami, membuat beberapa tulangnya bergeser. Diakibatkan oleh perlakuan manusia-manusia yang tidak pantas dikatakan manusia karena tindakannya. Teringat dengan jelas bagaimana rasanya tangannya yang remuk akibat diinjak oleh salah satu orang yang bukan pemeran utama.

Ya, mereka. Seperti yang dikatakan, mereka adalah segerombolan orang yang jelas adalah kaki-tangan. Ada pemeran utama di balik mereka. Pemeran utama yang memerintahkan satu per satu tindakan keji yang diterima Yuan.

Menyesal dan sempat mengutuk dirinya sendiri saat malam itu. Yang dengan tidak tahu dirinya lemah tidak berdaya akibat dua hal, penyakitnya dan kekangan orang-orang itu. Kepala Yuan terasa sangat sakit, luar biasa sakit hingga ia tidak bisa mendengar dengan jelas keadaan di lingkungan sekitar. Telinganya berdenging tajam, nyaris memecahkan gendang telinga.

Saat itu sebuah tendangan di dada langsung ia terima, tidak ingin berlarut-larut menjadi payah, Yuan mencoba bangkit. Memukul satu orang dari mereka dengan tangan kosong. Maka tak tanggung-tanggung akibat upaya berontaknya sebuah kayu terhempas ke perutnya dengan cepat.

Yuan meringis, saat ini. Kedua matanya langsung terpejam di tengah langkah pastinya. Bersama tangan yang mengepal, Yuan bisa merasakan rasa sakit pada malam itu selintas.

Yuan bukan robot. Meskipun selama ini dia berusaha hidup seperti robot. Berusaha untuk tidak merasa sakit atas semua hal yang terjadi di dalam kehidupan. Rupanya, ia tidak bisa mengelak. Ia hanyalah manusia yang sudah pasti akan merasakan sakit jika tubuh itu secara nyata dihancurkan perlahan-lahan.

Sejujurnya pula, dia tidak percaya Tuhan. Yuan, tidak pernah lagi mempercayai sosok itu setelah ia sadar dengan segala kesengsaraan yang ia miliki. Namun, izinkan dia menebuskan sedikit dosanya dengan berusaha mempercayai Tuhannya kali ini. Mengingat seharusnya ia mati malam itu, seharusnya dia tidak ada di sini, tetapi karena Penciptanya, ia memiliki kesempatan-

-lagi.

Di sepanjang perjalanan, ketiga laki-laki lainnya mengiringi saja langkah Yuan dalam diam. Hingga sampailah langkah kaki mereka di depan ruang kelas yang pintunya tertutup rapat. Tak pernah mengikuti aturan khusus, Yuan masuk saja ke dalam sana tanpa mengetuknya.

Kebiasaan ini yang membuat para guru menamainya murid yang tidak tahu sopan santun. Yuan memang begini, dia kelewat cuek sehingga sesuatu yang sebenarnya penting, tidak ia anggap penting. Sifat ini bertumbuh seiring waktu demi waktu, semakin dewasa ia rasanya sifat itu semakin menguasai dagingnya, menjadikannya sukar diubah.

Alhasil, sang guru wanita yang tengah mengajar di depan kelas, murka. Sosok itu melempar spidol papan tulis ke atas meja. Memerhatikan saja keempat laki-laki itu yang masih tidak menggubrisnya, malah berjalan santai mendekati bangku masing-masing.

GUILTINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang