Guiltiness | 45

4.2K 342 44
                                    

Bahu Bunga melemas, begitu membaca sebuah pesan masuk yang dikirimkan oleh Tian. Pesan yang menyampaikan bahwa Yuan sakit.

Ada dua penyebab dia merasa tidak senang. Pertama, bingung karena kenapa lelaki itu baru memberitahunya sekarang. Bukannya saat mereka masih jam pelajaran tadi. Sebab, Bunga bisa lari ke rumah kekasihnya sesegera mungkin. Kedua, berita Yuan sakit. Demam yang juga sempat menghalangi jadwal mereka di Bali, kembali mengganggu kekasihnya.

Bunga tidak tahu dengan kesalahan di tubuh Yuan sehingga perempuan itu menjadi sangat khawatir. Ini kali ketiga dia tahu Yuan demam. Dan, untuk mendapatkan jawaban atas rasa khawatirnya. Dia akan pergi ke rumah lelaki berambut hitam itu setelah selesai latihan paduan suara nanti.

Sementara, di rumah Yuan sendiri. Terjadi sebuah percekcokan yang tenang, namun menegangkan karena Zara mengeluarkan air matanya. Sebuah kegiatan yang sangat Yuan benci, apalagi ketika orang tercinta yang melakukan.

Setelah diinfus dengan dua kantong cairan yang apalah namanya itu, Yuan merasa kembali baik-baik saja. Tidak seratus persen membaik, setidaknya tulang-tulang disekujur tubuhnya tidak senyilu pagi tadi. Kepalanya pun terasa lebih ringan dan dia bisa bernapas lebih normal.

"Mama minta jangan keras kepala, Yuan." Zara mulai meninggikan suara.

Mungkin karena sudah lama tidak menegur Yuan, amarahnya yang belum apa-apa ini sudah terkesan keras. Hitung-hitung sudah hampir tiga tahun dia tidak melarang-larang Yuan seperti ini.

"Mama lihat, aku udah bisa berdiri. Itu artinya aku udah nggak apa-apa, Ma." Yuan pun terus berusaha meyakinkan Ibunya.

Seakan tidak peduli dengan keadaannya sendiri, dia tetap merapi-rapikan diri. Mengganti pakaian tidurnya dengan kaos warna hitam juga jaket berkupluk warna biru dongker.

"Apa yang buat kamu sampai nggak peduli sama omongan Mama seperti ini, Yu?" tanya Zara tegas. Dia marah. Sangat. Matanya yang berair itu memandang Yuan tajam.

"Ma," mendengar hal itu, hati Yuan terkikis. Terasa seperti durhaka. "bukan gitu maksud aku-"

"Kamu tau apa yang Mama rasakan saat lihat kamu sakit seperti tadi? Mama takut, Yuan. Mama takut! Kamu baru kembali ke sini dan Mama nggak mau kehilangan kamu lagi!" Zara kembali menyentak. Dia atas kursi rodanya, kepalan tangan itu memukul gagang-gagang kursi roda.

Emosi yang tidak terkontrol membuatnya hilang kendali. Zara kembali menangis, napasnya tersengal-sengal, dan tenggorokannya mulai terasa mampat.

Yuan mengerti. Dia mengerti situasi ini. Memang begini yang terjadi jika Zara stres dan tertekan. Dihampiri Ibunya. Dipeluk Zara sedalam mungkin. Menenangkannya dengan mengatakan dia ada di sana. Dia masih ada di sana.

Bagaikan mantra, upaya Yuan ini berhasil. Berangsur-angsur Zara membaik, kembali tenang. Dadanya yang bergerak cepat karena berusaha meraup udara dengan setengah mati, bergerak tenang. Perlahan tidak lagi menangis tersedu-sedu. Tangannya yang bergetar memeluk anaknya.

Muncul sebuah bayangan di otak Yuan. Apa hal seperti ini akan terjadi kalau dia tidak ada nanti? Atau lebih parah dari ini? Yuan tidak sanggup.

"Yuan cuman mau Mama kasih kepercayaan. Aku udah nggak apa-apa. Gini aja," Yuan mencoba bernegosiasi. "aku janji, kalau aku bakal sampai di rumah sebelum jam sepuluh. Yuan bakal datang ke kamar Mama dengan segelas susu yang harus Mama minum malam ini. Gimana?"

Bibir Zara masih bergerak-gerak resah. Menunjukan betapa sedihnya dia. Semakin memandangi wajah Yuan lamat-lamat, semakin dia merasa sedih lagi. Entah mengapa, seperti instingnya sebagai seorang ibu tengah bermain.

"Kamu nggak bakal telat?"

Yuan merengut. Memikir. "Telat lima menit nggak apa-apalah, Ma. Traffic jam ibukota," balasnya menuai canda.

GUILTINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang