"Gua pengen jadi orang yang bahagia."
▪YUAN▪
Desau angin menyadarkannya. Pintu besi yang menimbulkan suara bising setiap kali dibuka pun ikut merecokinya. Tetap di posisi, namun mengukir seulas senyum begitu Dhez yang menjulang tinggi menghampiri.
Sakit di kepala yang menyiksa, tersampul dengan baik di balik senyuman. Mencari celah posisi yang nyaman agar jauh terasa lebih baik.
"Kenapa?"
Sejak kakinya menginjak tanah bersemen itu, Dhez tidak mencoba berpaling dari Yuan. Masa bodoh dengan orang-orang yang mungkin mengambil kesimpulan dia begitu posesif terhadap Yuan. Atau lebih parah, dianggap dia punya perasaan yang berarti kepada laki-laki menyedihkan itu.
"Harus ada alasan buat gua nyari lo?"
Yuan terkekeh.
Meski tengah sibuk dengan kegiatan lain, matanya masih terus mengarah ke Yuan. Dua kaleng minuman bersoda dingin menyadarkan Dhez. Dia lantas menarik pandangan, melambungkan salah satu kaleng minuman bersoda tadi kepada Yuan yang masih setia dengan sofa reyot milik mereka.
"Ke rumah sakit gih, Yu."
"Ngapain? Gua nggak sakit."
Dhez menggeleng tidak percaya. "Mental lo yang sakit."
Untuk menegak minuman segar itu, Yuan harus berdiri dari posisinya namun kondisi tidak menyenangkan. Denyutan yang sedari siang muncul itu seakan mempunyai kekuatan magic dalam hal memutar dunia Yuan dalam sekejap. Menatap Dhez di tengah merahnya langit senja sedikit menyakitkan. Seisi dunia pun terasa tertarik oleh gravitasi sehingga terlihat seperti berputar.
Tenang. Yuan canggih. Dia punya tombol yang mampu membuat orang lain menjadi buta melihat keadaannya. Dia punya sistem kamuflase yang jauh lebih hebat daripada bunglon sekalipun. Hanya butuh sedikit proses dan waktu sampai dia bisa duduk tegap di hadapan sahabatnya yang sebenarnya tidak guna lagi dia tipu dengan kamuflase.
"Lo diusir dari apartemen?"
Cengkraman tangan Yuan pada botol kaleng yang ia genggam erat-erat, melonggar.
"Pram udah cerita? Si berengsek! Udah gua bilang buat tutup mulut dengan imbalan gua kasih uang ngekos di rumahnya."
"Pram nggak butuh duit lo." Tegas Dhez seketika. Tanpa berpikir. "Terlebih duit bokap lo." Ditambahkan dengan tatapan kesal, bingung, miris. Semuanya. Ekspresi keprihatinan.
"Jangan salahin pak Hendra." Yuan mengangkat telunjuk, digunakan menyalahkan tebakan sahabatnya. "Anaknya sendiri yang pergi dari apartemen." ditambahkan. Kemudian tersenyum begitu bangga. Seakan dia begitu hebat sudah melalukan hal "gila" itu.
"Lo sinting, Yu. Dengan keadaan lo yang kayak gini, lo keluar dari apartemen? Lo gila!" Sentak Dhez.
Seakan bukan apa-apa. Yuan kembali berujar, "Gua kembaliin semuanya. Semuanya. Kartu kredit? atm? duit yang dia kasih ke gua dalam nominal yang nggak biasa? gua kembaliin mereka."
Atmosfer tenang terguncang kala suara nyaring kaleng minuman bersoda itu jatuh. Cairan cokelat berbusa meluncur membasahi tanah bersemen dengan pasir-pasir halusnya yang menggumpal karenya.
Dhez berlari secepat kilat kepada Yuan. Menyergap tubuh itu, menarik kerah seragam Yuan yang tidak tertata. Menekan leher Yuan sampai menyatu dengan sofa. Dia tahu itu mampu menyakiti Yuan, tetapi dia tidak peduli. Maafkan amarahnya yang rupanya tidak bisa terkontrol. Upaya untuk mengajak Yuan berbicara baik-baik berakhir tidak menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
GUILTINESS ✔
Teen Fiction[END] Memangnya apa salah seorang anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan? jawabannya, tidak ada. Lebih tepatnya, tidak ada yang salah dengan anak itu. Tuhan memberinya nyawa untuk menjadi satu bagian yang berarti di dalam hidup kedua orang...