Feel Real
"Ketika cinta itu hadir." a teenfiction by natchadiary
Remaja, pasti erat kaitannya dengan persahabatan dan cinta.
Seperti halnya yang dialami oleh Cessa. Dimulai dari hari pertama masa putih abu-abunya yang langsung di hadapkan dengan c...
"Gue baru sadar kalau selama ini ada rasa yang selalu gue abaikan." - VPN
"Cuma dia yang mampu membuat poros perasaan gue tertuju sepenuhnya buat dia." - LIA
"Boleh gue berharap agar dia bisa memupuk perasaan ke gue?" - GA
"Hujannya turun mulu dari kemarin. Emang ngga takut buat ngerasa sakit karena jatuh melulu?" - Quote Author baper sama hujan.
-Feel Real-
LEVIN menatap ke arah langit-langit kamarnya dengan tatapan menerawang. Senyum cowok itu sekali-sekali terbesit ketika mengingat tawa Cessa yang menguar saat mereka kemarin menghabiskan waktu bersama--ralat Levin yang memaksanya. Ngga juga sih, orang Cessa mau-mauan aja ngga nolak apa gimana kok.
"Anjiir masa seriusan gue deg-degan gini?" Levin terkekeh geli sembari mengubah posisinya menjadi duduk bersila di atas kasurnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rasanya Levin masih belum percaya saja kalau dia benaran jatuh dalam pesona Cessa selama ini. Ya, memang sih dia tanpa sengaja alias terselubung pernah terang-terangan mengungkapkan kalau dia suka pada cewek itu, tapi ya gitu sialnya Cessa selalu mengangapnya bercanda.
Bahkan Levin tau kalau Cessa itu sebenarnya suka sama Dimas. Iya Levin tau, mulai dari cara Cessa menatap sahabatnya itu, tertawa, bahkan gestur tubuhnya, Levin sangat tau dan sangat yakin kalau tebakannya tidak meleset.
Iya Cessa sukanya sama Dimas. Paham.
Tapi kan ngga ada salahnya juga berusaha. Toh mereka berdua juga belum pacaran, jadi ya masih sah-sah aja. Masih halal buat di tikung, ya walaupun rivalnya sahabatnya sendiri. Tapi bersaing secara sehat kan ngga masalah.
Janur kuning aja belum melengkung, pacaran juga belum, berarti masih milik bersama.
"Edan lo, Lev. Mikirin apaan sih?" Levin terkekeh geli sadar akan pemikirannya yang terkesan ngawur barusan. "Selaper-lapernya gue juga ngga bakalan makan teman, kayak ngga doyan nasi aja."
Levin bermonolog. Palingan cuma di temanin udara yang dengan genitnya membelai pipinya karena pintu pembatas antara kamar dan balkon yang sengaja ia biarkan terbuka.
"Ih tapi kan Dimas ga ada cerita suka sama Cessa ya berarti masih boleh lah gue tikung."
Benar-benar gila rasanya Levin.
Cowok itu lantas meraih ponselnya yang berada di sampingnya begitu mendengar benda pipih itu berdenting pelan, melambai ingin di perhatikan oleh Levin.