36 :: Tuhan Izinkan Dia Bahagia
"Kamu kenapa senang bikin aku khawatir saat aku ingin lihat kamu bahagia?" — Princessa.
"Aku lelah menunggu di tengah sepinya keramaian. Lalu mereka datang memecah hening, dan ternyata itu hanya pemandangan semu dari imajinasi yang terlampau jauh. Kamu tau bagaimana rasanya? Sakit." — Davin.
"Aku baik-baik saja. Kamu cukup senyum dan buat aku kembali berusaha bertahan." — Levin.
-Feel Real-
DAVIN berdiri sembari menyandarkan tangannya pada pembatas balkon kamarnya. Menatap titik-titik air hujan yang nampak dengan semangatnya menyapa tanah dan menguarkan aroma petrichor yang menenangkan. Davin menyukainya, sama seperti Cessa.
Gadis itu selalu saja tak pernah absen terlintas di pikirannya. Sahabat terbaiknya selama enam belas tahun. Yang pasti dia menyayanginya. Tentu saja.
Hujan begini memang mendukung untuk bergalau ria dengan suasana yang melankolis. Hah, katakan lah dia ini remaja baper yang labil.
Apalagi melihat Cessa yang nampak asyik tertawa sembari berceloteh dengan ponsel yang berada di hadapan wajahnya di sana. Palingan juga video call sama Levin. Hal yang lumrah kan pada dua orang yang menjalin hubungan? Ya, harusnya itu memang biasa saja bagi Davin.
Biasa gundulmu kejeduk.
Rasanya dia belum benar-benar bisa mengikhlaskan Cessa dengan sahabatnya itu. Cukup egois memang. Davin hanya takut Cessa benaran menjauh darinya, melupakan waktu yang sudah enam belas tahun mereka lewatkan bersama. Iya, dia hanya takut kehilangan Cessa. Itu saja.
Tapi posisinya hanya sebagai sahabat gadis itu. Bukan sebagai pacar yang menjadi prioritasnya. Porsi sahabat hanya ikut bahagia ketika sahabatnya bahagia, tanpa hak menuntut, mengekang, tanpa harus lupa untuk tetap menjaganya dari tempat yang jauh. Sebatas itu, Davin sebetulnya sadar. Tapi perkataan Vela beberapa bulan yang lalu terus saja mengusiknya.
"Dav, lo pernah mikir ngga sih, sebetulnya posisi gue di hati lo itu apa? Yah...sebelum gue jadi mantan lo. Pacar? Gue rasa engga."
Davin menatap cewek berambut cokelat panjang itu dengan tatapan herannya. Dia tadi memang sempat bertemu dengan Vela dan memutuskan untuk mengantarnya pulang, tapi hujan menahan keduanya di salah satu cafe. "Lo tanya apaan sih, Vel?" tanyanya heran sembari menyeruput minumannya menggunakan pipet. Agak aneh juga rasanya mengatakan hal seperti ini ketika hubungan mereka sudah berakhir seperti ini.
Vela tersenyum miris menanggapinya. Bertemu dengan Davin mau tidak mau membuatnya mengulang luka tak kasat mata yang tanpa sadar pernah di torehkan cowok itu. "Hujan, gini bikin gue keinget waktu kita pacaran dulu. Berapa kali lo ninggalin gue buat Cessa."
Lagi Davin semakin heran menatap Vela. Rasanya agak aneh membicarakan hubungan mereka yang sudah berlalu begini. Kenapa juga Vela mesti membahasnya ketika mereka sudah berakhir? "Vel, lo tau ngga sih. Rasanya aneh ngobrolin hal yang udah jadi masa lalu gini."
"I know, Dav. Gue bukan ngajakin lo flashback, ngga. Gue cuma pengen lo sadar aja sama perasaan lo." Begitu balas cewek itu sembari tersenyum tipis.
"Lo ngelawak. Apa yang ngga gue sadar sama perasaan gue?"
Vela menghela napasnya pelan. "Apa selalu gini saat lo pacaran sama cewek lain, Dav?" tanyanya. Mengingat reputasi Davin yang terkenal sebagai cowok yang gemar gonta-ganti pacar. Playboy. "Jadiin cewek lo sebagai bayangan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Feel Real
Teen FictionFeel Real "Ketika cinta itu hadir." a teenfiction by natchadiary Remaja, pasti erat kaitannya dengan persahabatan dan cinta. Seperti halnya yang dialami oleh Cessa. Dimulai dari hari pertama masa putih abu-abunya yang langsung di hadapkan dengan c...