[25] Simpulan Rasa

1.3K 88 4
                                    

25 :: Simpulan Rasa

"Gue bukannya mengalah. Gue hanya takut perasaan gue makin berkembang dengan salah. Kalau nyatanya gue dan dia adalah satu hal yang mustahil." - Princessa.

"Cowok itu yang di pegang ucapannya. Kalau lo banci mending ngga usah ngumbar janji." - Levin.

"I tell my self not to high to wish to high." - D

"Boleh gue merasa takut? Takut kehilangan lo saat gue sedang nyaman." - D

"Kalau dia sebenarnya fakta kenapa gue harus putar otak supaya dia menguar jadi imajinasi?" - Curhatan Author.

-Feel Real-

DALAM dinginnya perpustakaan kali ini, aku ingin berujar. Atau lebih tepatnya bertanya pada diriku sendiri. Kenapa selalu ada rasa, perasaan yang hadir dan menguar kecewa ketika dengan jelas dalam iris mata cokelat terang miliknya itu menatap penuh rasa iris mata teduh milik dia yang jelas bukan miliknya lagi? Ya, aku masih saja di sini. Diam, tanpa aksara yang berani ku urai melalui lisan dengannya.

Kamis, 25 November 2017
Disini, masih dengan rasa yang sama.
-Dev.

"Woy! Bengong aja lo! Gue cariin dari tadi tau." Devia refleks menutup buku diarynya dengan cepat dan menyembunyikannya di balik buku cetak Sosiologi yang berada di atas meja ketika Cessa baru saja datang dan duduk di hadapannya saat ini.

Devia, cewek dengan mata agak minimalis itu lantas menatap Cessa dengan pandangan herannya. "Cessa, ngagetin banget sih lo. Lagian tumbenan amat lo main ke perpus gini," ujarnya sembari membenarkan letak kacamata minusnya yang agak melorot tadi.

"Enak aja, gue dari tadi nyariin lo, Dev." Cessa membalas sembari tersenyum lebar. "Btw ngapain lo di sini? Rajin amat belajar."

"Ngga kok, cuma baca-baca aja gue."

Cessa mengangkat satu alisnya heran. Apalagi ketika melihat buku cetak sosiologi dan sejarah minat yang terbuka di atas meja saat ini. "Lo seriusan mau belajar IPS juga? Putar kemudi gitu?"

"Sebenernya gue sih lebih menjurus ke IPS, bukannya ke IPA. Gue pengen ikutan progam beasiswa hukum ke Jerman, Cess." Devia membalas.

"Loh kalau lo sudah punya plan kayak gitu, kenapa waktu pemilihan jurusan tahun lalu ngapain lo pilih IPA kalau gitu?" tanyanya dengan nada seriusnya sembari memajukan wajahnya ke arah Devia.

Cewek yang sengaja mengerai rambut hitam sepunggungnya itu tersenyum tipis. "Pilihan orang tua gue, dan gue ngerasa mereka cukup ngatur jurusan apa yang gue pilih. Bukan cita-cita gue yang ingin belajar hukum. Jadi ini pilihan gue."

Cessa menggelengkan kepalanya tak percaya. Sahabatnya yang satu itu memang gigih sekali kalau sudah mengambil suatu keputusan. "Lo keren deh, Dev. Asli, itu kan berat. Sama aja lo ambil dua jurusan kalau gitu, salut gue."

"Jangan berlebihan lo, kalau kita ngejalanin apa yang kita suka bakalan kerasa ringan bukan kayak beban kan. Yaudah gue coba ikhlas dengan jurusan IPA yang gue ambil dan gue senang belajar apa yang di ajarin buat anak IPS juga," balas Devia sembari tersenyum lebar hingga matanya menyipit tanda kalau cewek itu benar-benar bahagia.

Feel RealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang