[37] Sesak yang Membuncah

1.1K 63 10
                                    

37 :: Sesak yang Membuncah

"Jangan sedih. Aku sayang kamu." -Levin

"Aku takut. Takut kehilangan sahabat terbaik aku ketika dia menyimpan lukanya sendirian. Jangan lari, aku ingin mendekat. Menyembuhkan luka bersama." — Cessa

"Apa yang lebih menyebalkan dan mengesalkan selain terjebak dalam hubungan rumit perasaan?" — Davin

"Jangan hangat. Aku terbiasa terbalut selimut dingin. Hatiku menggigil mati rasa." — Natchadiary

-Feel Real-

CESSA menekan bel rumah Nanda beberapa kali hingga cengirannya muncul ketika melihat perempuan cantik yang masih terlihat muda di usianya itu. Dinandra—Maminya Nanda yang kelewat gaul dan menyenangkan. Jauh berbeda dengan anaknya yang minta di tampol.

"Sore, Tante!" sapa Cessa dengan riangnya.

Dinandra tersenyum hangat lalu memeluk Cessa sekilas. "Eh anak cewek gue dateng, masuk yuk sayang." balasnya dengan nada hangatnya sembari mengajak Cessa masuk ke dalam rumahnya.

"Lama ngga ketemu Tante ih, Cessa kangen," kekehnya sembari mengikuti langkah Dinandra yang mengarah ke mini bar rumah Nanda. Cessa memang dekat dengan Mami Nanda yang satu itu. Jadi kebiasaan juga kalau main kerumah Nanda dia akan mengobrol lebih dulu dengan Dinandra.

"Sibuk pacaran mulu sih lo, Cess. Jadi jarang kan ketemu sama Tante yang kece badai begini," jawab Dinandra sembari tertawa pelan. "Mau minum apa? Doyan kopi ngga?"

"Pakai nanya ih, Tan. Tapi teh anget deh, Cessa. Lagi pengen."

Dinandra menganguk lalu mulai menyiapkan dua cangkir dan lainnya. "Teh mint kan kesukaan lu? Gue tau," ucapnya sembari terkekeh pelan. "Persis banget sama Mama lo itu mah, dari jaman SMA demen banget dia minum teh Mint gini heran gue."

Cessa tertawa mendengar ucapan Dinandra yang satu itu. "Kan aku anaknya Mama, Tan. Jadi sebelas dua belas sih ya," kekehnya. "Lagian enak tau, Tan."

"Iya iya deh, jadi pengen kan gue punya anak cewek yang modelannya kayak lu gitu. Polos-polos bawel, pengen gue gigit." Dinandra memang begitu. Santai dan sering ceplas-ceplos, bawelnya itu bahkan ngalahin Nesya kalau Cessa jujur. Tapi punya Mami yang kelewat gaul seperti Dianandra itu asyik rasanya. Apalagi buat di ajak curhat begini. Dinandra jagonya.

"Nyetak lagi aja, Tan. Palingan si Nanda cuma ngamuk entaran."

Dinandra tertawa pelan lalu membawa dua cangkir tadi dan duduk di samping Cessa di mini barnya. "Ogah lah, baperan itu anak sampai nangis ngga mau gue kasih adek saking ngga maunya."

"Bisa nangis juga ya modelan tukang rusuh kayak Nanda gitu?" Cessa menggelengkan kepalanya sembari meniup pelan teh yang di beri daun mint tadi lalu menyeruputnya.

"Kayak ngga tau doi aja lu, temenan dari orok elah," jawab Dinandra sembari mengusap lembut rambut hitam panjang Cessa yang di cepol. "Abis nangis ya lu, Cess? Mata lu sembab gitu? Cerita deh sama Mami, tell me why?" ujarnya.

Cessa menggeleng sembari tersenyum. "Ngga kok, Tan. Cessa ngga nangis kok."

Dinandra menghela napasnya pelan lalu mencubit pelan pipi tembab Cessa. "Ngga jago bohong lu, pipi lu masih ada bekas air matanya gini," ujarnya sembari tersenyum gemas. Baru saja Cessa akan menjawab, Dinandra sudah menjawabnya. "Jangan bilang kena hujan di luar, ngaco banget itu."

Cewek berambut hitam itu terkekeh karenanya. "Hehehe iya, Tan. Abis nangis emang tadi."

"Putus sama pacar lo emang? Yailah kalau gitu mendingan sama anak gue aja lah, Cess. Biar rada blangsak gitu dia lumayan kok, ganteng. Nurun bapaknya."

Feel RealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang