[35] Tertawa atau Terluka?

1K 61 27
                                        

35 :: Tertawa atau Terluka?

"Dulu lo memang prioritas gue. Tapi setelah lihat lo bahagia dengan dia? Gue belajar untuk melepaskan lo sebagai prioritas gue." - Davin.

"Dia bahagia tapi hanya sebatas senyum. Di balik senyumnya itu dia menyimpan luka." - Cessa.

"Gue suka lihat senyuman dia. Tapi sampai kapan gue harus bertahan di balik topeng gue?" - Levin.

-Feel Real-

PERGANTIAN pelajaran, membuat Cessa memunyai waktu untuk menoleh ke belakang ke arah Levin yang sedari tadi menundukan kepalanya pada lipatan tangannya. Cowok menyebalkan itu tumben sekali terlihat anteng hari ini. Bukan tipekal Levin sama sekali.

Biasanya juga Levin itu ngoceh ngga ada habisnya. Lah sekarang hanya diam saja, dari tadi juga kelihatannya tidur. Cessa jadi khawatir mengenai kondisi pacarnya itu.

"Lev." Diusapnya pelan rambut hitam Levin, karena cowok itu masih saja diam dari tadi. "Dari tadi belum bangun, Dav?" tanyanya pada Davin.

Cowok berambut cokelat gelap itu menggeleng pelan. "Belum, kecapean paling dia. Biasanya juga ngga bisa diem," balasnya dengan senyuman tipisnya.

Cessa hanya mengangguk walaupun tangannya tetap terulur ke arah kening Levin yang tertutup helaian rambut depan Levin yang agak panjang. "Panas? Lev, sakit ya?" tanyanya sembari menepuk bahu Levin pelan.

Resha yang sedari tadi asyik dengan ponselnya ikutan menoleh. "Kenapa, Cess?" tanyanya dengan nada heran.

"Panas, Resh. Demam kayaknya dia."

Mendengar ucapan Cessa barusan membuat Davin menepuk pelan bahu Levin yang memang agak hangat. "Lev, ke UKS yok gue anterin."

Levin perlahan mengangkat kepalanya. Matanya nampak agak memerah dan bibirnya nampak pucat. Anak itu benaran kurang sehat nampaknya. "Ngga usah, gue di sini aja. Habis ini pelajaran apa?"

"Geografi." Cessa membalas. "Udahlah ke UKS aja. Muka lo pucat gitu."

"Hooh gue anterin ayok, badan lo panas gitu. Pusing ngga?" tanya Davin dengan nada selidiknya. "Jangan sok kuat, bilang aja."

Levin tertawa pelan. Davin itu memang sedari dulu yang paling bawel mengenai dirinya. Lagian bisa-bisanya dia kemarin cemburu dengan sahabat terbaiknya itu. Ada-ada saja memang. "Gue cuma ngga enak badan aja, entar kalau udah ngga kuat gue bilang deh."

"Sama aja itu kenapa-napa, bego."

"Galak banget sih, Cess." Levin tersenyum di balik rona pucatnya.

Davin mendengus. "Dia emang nyebelin, Cess. Tabok aja kalau ngeyel." balasnya dengan nada antusiasmenya. Namanya juga sahabat kalau ngga kurang ajar ya ngga asyik katanya.

Serunya punya sahabat itu. Menerima segala kekonyolan dan candaan receh kita tanpa perlu topeng pura-pura baik. Kelihatannya aja ngga peduli padahal yang paling peduli.

-Feel Real-

"LEV, kenapa?" Cessa menepuk pelan pundak Levin ketika cowok itu melambatkan laju motor sportnya dan berhenti tepat di dekat taman dalam kompleksnya.

Levin hanya diam saja lantas melepaskan helm full facenya. "Turun bentaran, Cess." ucapnya dengan suara paraunya. Entah kenapa kepalanya terasa sangat pusing begini hingga membuatnya memilih untuk berhenti sejenak.

Feel RealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang