Bab 2

13.5K 919 11
                                    

Thea masuk ke bagian yang paling membuatnya tersiksa. Jika mimpi ini adalah hukuman, Thea memohon ampun dan bersedia menukarnya dengan hukuman lain apapun. Dia tak mau ada di mimpi itu lebih lama lagi. Dia tak ingin melihat akhir mimpi itu untuk yang kesekian kalinya.

Kumohon. Tuhan, kumohon...  

Tak ada yang mendengarnya.  

Thea yang ada di mimpi itu berjalan masuk ke dalam sebuah terowongan. Gelap, lembap, udaranya sangat menjijikkan. Baunya seperti ikan busuk yang ditimbun di bawah bantal. Mencekik leher, memekakkan hidung.

Entah dari mana datangnya, seberkas cahaya menyinari seisi terowongan. Langkah Thea terhenti. Thea bisa melihat kardus dan balok-balok kayu disusun begitu saja, untuk tempat tinggal. Kain selimut, pakaian seadanya, sisa-sisa makanan, dan sisa-sisa berbagai macam hal bercampur jadi satu.

Mereka yang tinggal di sana sudah bukan kumal lagi, tapi sangat memprihatinkan. Tak ada yang tampak sehat. Semua wajah pucat, mata sedih, dan tubuh mengerut—mencoba meringkuk seperti ingin melindungi diri dari entah apa yang membuat mereka seperti itu.

Cipratan air yang tak sengaja diinjak Thea membuat semua kepala menoleh. Kini belasan pasang mata menatapnya. Sebagian besar menatapnya dengan penuh kelegaan. Tapi seakan dalam satu jentikan jari, ekspresi wajah mereka berubah. Mata membesar, mulut menganga dan tubuh gemetar.

Apa? Apa yang mereka lihat di belakangku?

Thea frustasi bukan main. Beberapa kali ia melihat mimpi ini, ia masih belum tahu apa yang membuat mereka semua berubah ekspresi seperti itu.

Lalu hal yang paling mengerikan pun terjadi.

Satu-persatu tubuh itu tumbang. Darah ada di mana-mana—menciprati dinding terowongan dan mengalir bercampur dengan air buangan selokan. Bau ikan busuk kini bercampur dengan bau darah dan mesiu. Mata-mata yang belum sempat memejam, masih terpaku pandangannya pada Thea seakan masih berharap Thea bisa menyelamatkannya.

Tapi mereka semua sudah mati.

Thea tak bisa mendengar suara apapun, namun siapapun yang ada di belakang punggung Thea, dia pasti sudah menembaki orang-orang itu. Siapapun yang ada di belakang punggung Thea adalah ciptaan Tuhan yang terburuk.

Ini dia.

Akhirnya sampai juga di penghujung mimpi itu. Sebuah mata pisau menembus punggung Thea. Sakit. Luar biasa sakit yang ia rasakan. Semua organ yang ditembus pisau itu pastilah sudah berantakan. Di tengah-tengah rasa sakitnya, ada yang menghentak perut Thea.

Aneh.

Hentakan ini belum pernah ia rasakan sebelumnya. Hentakan di perutnya seperti keterkejutan yang bercampur dengan kesedihan yang sangat mendalam. Seperti rasanya Thea ingin menggorok lehernya sendiri agar ia mati untuk yang kedua kalinya. Matanya dengan sendirinya tertuju pada pecahan cermin yang tergantung di dinding terowongan di dekatnya. Seberkas rambut hitam ikal pendek terlihat di cermin ini.

Sayang sekali, belum sempat ia berpikir atau memperhatikan dengan lebih seksama bayangan siapa yang ada di cermin itu, sebuah pusaran besar sudah menariknya dari mimpinya. Untuk pertama kalinya ia membenci pusaran itu. Biasanya pusaran itu seperti sang penyelamat yang menariknya dari mimpi buruk itu.

Thea membuka matanya dan mendapati setengah tubuhnya terkulai ke bawah melalui sisi tempat tidurnya. Kepalanya bahkan sudah menyentuh karpet. Ia mengerjap pelan beberapa kali, menatap lampu gantung di langit-langit. Otaknya masih limbung akibat diseret begitu saja dari mimpinya. Beberapa bagian tubuhnya masih lemas dan nyeri, seakan-akan ia benar-benar mengalami mimpi itu.

Ia perlahan mencoba mengeluarkan sesuatu dari belakang punggungnya sambil berdoa semoga tidak berhasil. Sayang sekali. Sepasang sayap putih mekar perlahan. Beberapa bulu dari sayap itu mendarat di atas karpet dan melayang lagi perlahan karena angin yang ditimbulkan dari pintu yang tiba-tiba menjeblak terbuka.

Sesosok makhluk mungil agak gempal mengenakan daster norak warna merah jambu bertotol putih tampak jungkir balik dari pandangan Thea yang terbalik itu. Mata besar makhluk itu menatap Thea dengan penuh kebencian. Bibir kerucutnya membuka dan mengeluarkan makian pertamanya di pagi hari itu, "Malaikat pemalas! Makan sarapanmu dan bergunalah untuk dunia!"

"Keluar dari kamarku," perintah Thea dengan nada suara yang lemah.

Tanpa berkata apapun lagi, sadar kalau keadaan Thea sedang tidak baik—Cato—peri rumahnya itu melayang pergi dan membanting pintu kamar Thea menutup dengan keras.

Selama beberapa detik, Thea terdiam—tak berniat untuk bangun sama sekali. Alasannya adalah karena matanya mulai basah. Posisi itu bisa menahan air mata yang mulai membasahi kedua matanya. Paling tidak jangan sampai menetes. Katanya air mata malaikat bisa menciptakan hujan di dunia manusia.

Tapi—dia lelah.

Menemukan fakta bahwa dirinya masih terbangun sebagai malaikat membuatnya frustasi. Ia tak punya keahlian apapun sebagai malaikat. Semua malaikat pernah mengolok-oloknya karena ia bodoh dan ceroboh. Dan yang terburuk dari semuanya adalah dia immortal.

Dia tidak bisa mati.

Ia bisa berdarah, ia bisa merasakan sakit yang luar biasa, tapi dia tidak bisa mati. Betapa buruk pun keadaannya, ia tetap harus terbangun dan menghadapinya lagi.

Selamanya.

Apakah menjadi malaikat adalah hukuman untuknya?


Pas nulis ini, ngeri-ngeri sendiri ngebayangin lari sambil kelingkingnya patah :(

Oh ya, peri rumah ini nggak kayak Dobby di Harry Potter ya. Peri rumahnya punya sayap kayak tinker bell tapi badannya lebih gede.

Jangan lupa voment :D

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang