Bab 17

5.9K 510 2
                                    

Zeta dan Thea berjalan menyusuri jalan di sisi Sungai Thames. Semua orang yang mereka lewati melihat mereka dengan tercengang karena mereka tidak mengenakan masker sama sekali. Untuk apa pakai masker? Mereka toh tidak bisa mati.

"Aku tidak tahan lagi—" Zeta menarik syalnya hingga menutupi hidungnya. Bau busuk dari air sungai itu membuatnya mual.

Thea melirik ke arah sungai lalu menyesalinya. Ia tak mau membayangkan apa saja yang ada di dalamnya dengan air yang sudah menghitam seperti itu. Thea yakin ada beberapa mayat yang membusuk di bawah sana kalau baunya sudah memekakkan hidung seperti ini.

Setelah melalui sebuah toko sepatu yang hampir bangkrut, mereka berbelok masuk ke sebuah jalan kecil. Jalanan itu lebih buruk dari keadaan di luar sana. Selain jorok, banyak gelandangan di sisi jalan itu. Ketika Thea dan Zeta muncul, mata mereka semua membelalak seakan-akan Thea dan Zeta adalah anak kambing tersesat yang siap mereka santap.

"Ap—apa yang akan mereka lakukan?" Zeta tampak ketakutan saat dua orang pria dengan jenggot semrawut berjalan mendekati mereka. Bau mereka seperti campuran ikan asin dan ganggang laut yang disimpan terlalu lama. Saat mereka menyeringai, gigi-gigi mereka terlihat kuning menjijikkan. Kedua pria itu mengulurkan tangan mereka, hendak menyentuh Thea dan Zeta. Saking paniknya, Thea dan Zeta tak bisa memikirkan hal lain selain menjerit.

Tepat sebelum jari-jari dengan kuku-kuku hitam itu menyentuh Thea dan Zeta, sebuah kilatan abu menyambar kedua pria itu dan semua orang yang ada di sana. Mereka membelalak dengan tatapan kosong, seakan ada yang menekan tombol pause di diri mereka.

"Apa yang kalian lakukan? Kalian malaikat kan? Kenapa kalian hanya menjerit?!" Si malaikat dari klan Soroya yang mereka tontoni tadi muncul dari belakang dan menatap mereka berdua dengan jengkel.

"Ma—maaf..." Zeta meminta maaf. Thea awalnya hanya diam saja tapi Zeta mendorong kepala Thea dan memaksanya untuk minta maaf juga. "Aku Zeta dan dia Thea. Kami sedang dalam perjalanan mencari rumah kami."

"Aku Hexon. Tolong bantu aku. Paling tidak lindungi diri kalian sendiri. Kerjaanku sudah banyak, aku tak punya waktu untuk menjaga kalian lagi." Lingkaran gelap di bawah mata laki-laki itu mengatakan betapa lelahnya dia.

"Kau...masih apprentice kan?" tanya Thea penasaran dengan kening mengerut.

Hexon berdecak kesal seakan pertanyaan dari Thea benar-benar menyinggungnya. "Sekarang tidak ada lagi pembedaan apprentice atau bukan. Semuanya harus bekerja kalau kalian tidak mau dunia ini hancur."

"Se...parah itukah?" Rasanya ada bagian di otak Thea yang bersikeras menolak kenyataan itu.

"Oh, mungkin lebih parah dari yang kau kira. Ya Tuhan, ke mana saja kalian sampai tidak tahu hal-hal seperti ini?"

Thea dan Zeta saling lirik. Kalau mereka jawab, 'Minum-minum di Bar Omora,' laki-laki itu mungkin akan langsung menendang mereka kembali ke Casthea.

"Iblis-iblis di Thanaterra semakin kuat. Entah bagaimana mereka menemukan cara mempengaruhi pikiran dan hati manusia dari bawah sana. Ada yang bilang mereka bisa 'membisiki' manusia. Ada juga yang bilang ini hanya distraksi untuk membebaskan pemimpin mereka—Malphas."

"Apa yang akan terjadi kalau Malphas sampai lepas?"

Melihat Zeta dan Hexon sama-sama memutar bola mata mereka, sepertinya Thea sudah menanyakan hal yang salah.

"Kalau Malphas sampai lepas, semua yang bisa musnah akan musnah. Semua yang tidak bisa musnah akan menjadi budak mereka." Satu suara lagi bergabung di percakapan itu. Kali ini adalah darah murni. Rambutnya abu-abu terang dengan mata yang lebih gelap beberapa tingkat dari rambutnya. Thea bisa melihat gelang yang dikenakan berbeda dengan yang ada di pergelangan tangan Hexon. Tapi bukan itu yang membuat Thea yakin dia adalah darah murni, melainkan cara malaikat itu menatap Thea dan Zeta. "Kerja bagus, Hexon. Kau bisa pergi," si darah murni mengedik agar Hexon meninggalkan mereka.

"Terima kasih, Nathan." Setelah mengangguk undur diri pada si darah murni, Hexon pun menghilang dari sana.

"Kalian Caera kan?" Seperti halnya Thea menangkap gelang di tangan si darah murni, dia pun menangkap tato lambang klan Caera di atas nadi Thea dan Zeta. "Sedang apa kalian di sini?"

"Tugas," jawab Thea pendek, tak mau menyebutkan detailnya. Takut dia akan mengadu pada Serena kalau mereka ada di London, bukan Iran.

"Percuma. Tidak ada yang bisa dijodohkan di sini. Semua hati mereka sudah menghitam. Ini wilayah kerja kami. Cari tempat lain sana."

Kalimat yang diucapkan Nathan membuat Thea dan Zeta bertukar pandang ngeri. Kalau tidak melihat apa yang disaksikannya dari atas gedung sana, mungkin Thea akan mengira Nathan hanya menggertak mereka. Tapi kini Thea tak punya alasan untuk tidak mempercayainya.

"Apa seisi Inggris hitam begini?" Kalau iya, Thea benar-benar tamat.

"Mungkin masih ada harapan di Bristol, Oxford, atau Liverpool. Yang jelas bukan London. Entahlah. Tanya saja pada Serena."

Mendengar nama wanita itu disebut mendadak membuat Thea malas melanjutkan pembicaraan ini. Mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka mencari rumah mereka. Belajar dari apa yang baru saja terjadi, mereka menggunakan sisa-sisa tenaga mereka untuk membuat diri mereka tidak terlihat di mata manusia.

"Ini rumahnya?" Thea bertanya saat mereka sudah sampai di depan sebuah rumah yang lebih terlihat seperti habis diterjang badai. Atapnya miring, jendela-jendelanya pecah, halamannya tak terurus. Thea bisa melihat beberapa tikus berlarian di sisa-sisa makanan yang entah bagaimana bisa ada di halamannya. Bahkan arsitektur luar Bar Omora terlihat jauh lebih mending dari ini.

Tapi Thea dan Zeta merasa ini hal yang normal. Hampir semua rumah-rumah dinas untuk para malaikat di Dimia ditambahkan mantra penyamaran agar tidak ada manusia yang punya nyali untuk memasukinya. Yang membuat Thea dan Zeta mulai ragu adalah apa yang mereka lihat saat membuka pintunya.

Keadaannya jauh lebih buruk.

Lantai-lantai kayunya berderit. Bahkan kalau salah melangkah, mereka bisa terjeblos ke ruang bawah tanah seperti yang baru saja menimpa Zeta. Debunya jangan ditanya lagi. Tak satu pun bagian dari rumah itu yang luput dari balutan debu. Perabotnya tidak ditutup kain sama sekali, sehingga sama kotornya dengan lantainya. Satu-satunya yang senang dengan keadaan itu adalah para laba-laba yang dengan riangnya berlarian kesana-kemari.

"Apa kita salah rumah?" Zeta bertanya sambil memijat-mijat pinggangnya yang hampir patah karena jatuh tadi. "Maksudku, seharusnya di dalam rumah ini keadaannya seperti rumah-rumah normal lainnya kan? Bukannya seperti rumah hantu begini."

"Aku rasa hantu pun menolak tinggal di sini. Aku tidak lihat hantu sama sekali dari tadi."

Thea mengajak Zeta menaiki tangga, masuk ke (sepertinya) ruang tidur. Begitu membuka pintu, keningnya mengerut. Tidak ada ranjang sama sekali di sana. Hanya ada matras gulung. Thea sebut itu matras gulung bukan hanya karena keadaannya yang tergulung, tapi juga karena debu menggulungnya seperti tepung panir.

Selain ada matras gulung, di ruangan itu juga ada lemari. Melihat keadaan rumah itu, Thea tak begitu optimis pada lemari yang ada di sana. Tapi kalau ternyata lemari itu bisa membawa mereka ke Narnia, maka mereka akan sangat bersyukur. Sayang sekali, kenyataan lagi-lagi mengecewakan Thea.

"Semua baju-bajuku ada di lemari," Thea berjengit jijik karena debu mulai merubungi baju-bajunya yang dikirimkan oleh Cato di lemari itu.

"Itu berarti, ini benar rumah untuk kita?—"

Thea mengangkat tangannya, memberi isyarat pada Zeta untuk tidak bicara dulu karena ia bisa mulai melihat gambaran besarnya. "KEPARAT KAU SERENA!" Teriakan Thea menggema begitu keras, hingga membuat semua laba-laba di rumah itu berlarian panik menyelamatkan diri.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang