Bab 5

7.4K 591 3
                                    

Dengan satu hentakan, mereka terbang ke arah selatan. Mereka mendarat di depan sebuah bangunan kayu tua yang hampir ambruk. Ilalang kering memenuhi halaman depat bar—sangat kontradiksi dengan keadaan sebenarnya di Casthea di mana semua tanaman tumbuh subur dan bunga-bunga tumbuh dengan sangat indah di musim apapun. Jendela-jendelanya berdebu. Beberapa jendela malah masih ditutupi papan kayu seperti bangunan yang terlantar. Satu-satunya penanda di bangunan itu hanyalah tulisan "Bar Omora" di kotak surat karatan di samping pagar.

Oh, bangunan itu bukan terbengkalai. Itu memang gaya arsitektur bar tersebut.

"Hai Yosa," Thea melambai begitu saja menyapa penjaga bar itu. Yosa yang bertubuh besar membalasnya dengan candaan sikap hormat dan membukakan pintu bari itu untuk Thea dan Zeta. Sebenarnya bar ini tertutup untuk mereka yang merayakan kelulusan malam ini. Tapi karena Zeta dan Thea hampir setiap hari minum dan berpesta di sana, dengan mudahnya mereka bisa masuk ke dalam.

Ketika pintu di buka, keadaannya sama sekali berbeda. Lampu terang, musik keras, suara tawa, bau makanan dan minuman beralkohol—Bar Omora adalah tempat paling menyenangkan bagi Thea dan Zeta di Casthea.

Terdengar ledakan sorakan dari semua orang saat Thea dan Zeta melangkah masuk ke dalam. Willo, malaikat laki-laki berkulit sawo matang dengan rambut hitam yang ikal, langsung melompat dari kursinya dan memeluk mereka berdua. "Kita kira kalian tidak akan datang! Itu gawat, kau tahu? Pesta tidak akan mulai tanpa kalian!"

"Tahu. Aku tahu kok," Thea menyombongkan popularitasnya. Tapi memang penduduk Casthea tak ada yang bisa memeriahkan pesta baik dari dirinya. Sering kali Thea diundang ke pesta-pesta yang tak ada hubungannya dengan dirinya dan Thea tidak pernah menolak. Memangnya kenapa pesta harus ditolak?

"Ini masing-masing satu botol bir untuk kalian!"

"Terima kasih, Willo!" Thea menyambar botol itu dan balas menepuk bahu Willo. Dengan cepat dia menyeret Zeta menuju meja bar dan mengambil kursi di paling ujung.

"Kenapa kita duduk di sini? Biasanya kau maunya di meja yang paling depan—"

Zeta tak bisa melanjutkan kata-katanya saat melihat Thea mengambil ember es batu dari belakang meja dan membuang semua isi botolnya ke ember itu. Saking terkejutnya, Zeta hanya bisa melotot dan menganga. Tak satu pun kata sanggup ia ucapkan.

"Hey, hey—psst!"

Thea memanggil Odela, malaikat pemilik bar itu yang kebetulan ada di belakang meja itu. "Thea!—"

"Diam!" Thea memaksa Odela mengunci mulutnya dan mereka berdua pun merendahkan tubuh mereka. "Isi botol ini dengan jus apel. Cepat!"

Dengan wajah kebingungan, Odela pun mengambil botol itu dan membawanya ke belakang.

"Kau mau mengerjai siapa?" tanya Zeta yang kebetulan mendengar hal itu.

"Tidak mengerjai siapa-siapa," Thea menggeleng. Matanya menyisir dengan cepat semua meja yang ada di sana. Di meja siapa mereka harus bergabung? Di meja 2 ada Willo si atlet. Pasti banyak orang yang mau mendengar cerita suksesnya memenangkan turnamen bela diri minggu lalu. Thea menyisir seisi bar lagi. Akhirnya ia memutuskan meja manapun oke kecuali meja 5.

Tidak. Jangan Rufus.

Di meja 5 hanya ada Rufus. Malaikat apprentice yang mulutnya lebih besar daripada nyalinya. Rufus selalu menyombongkan semua hal yang diketahuinya. Terlepas dari pengetahuannya benar atau salah, bagi laki-laki itu, yang penting koar-koar dulu. Selain menyombong, dia juga paling suka mengejek malaikat lain yang dipandangnya lebih bodoh darinya. Itu berarti dia suka mengejek semua malaikat kecuali para darah murni. Sudah pasti dia akan menertawai Thea dan Zeta yang gagal lulus lagi tahun ini.

"Maksudmu, kau tidak minum alkohol malam ini?" Zeta memelankan tempo ucapannya, berharap Thea tidak mengiyakan pertanyaannya.

Sayang sekali, Thea mengangguk.

"Siapa kau?"

Thea balas menatap sahabatnya dengan bingung. "Apa maksudmu?"

"Thea tidak akan melewatkan alkohol tiap kali berpesta. Kau siapa? Apa kau Cato yang menyamar?"

"Cato tadi berjalan menuju Hutan Tama, kalau kau mencarinya," sambar Odela sambil datang membawa botol bir berisi jus apel pesanan Thea.

"Oh, kami tidak mencarinya. Tapi terima kasih informasinya." Thea menaikkan sebelah alisnya pada Zeta seperti mengatakan 'tuh, dengar kan? Aku bukan peri gila itu.'

"Kenapa sih kau tidak minum malam ini?" Zeta mengernyit menyaksikan Thea menegak jus apelnya.

"Aku minum," Thea minum lagi. Sepertinya dia haus.

"Minum, maksudku minum bir betulan. Yang dari gandum. Bukan apel!" Zeta mencoba menarik paksa botol bir Thea dan menuangkan isi botolnya sendiri ke botol itu, tapi Thea mencegahnya.

"Kau lihat kan tadi apa yang peri gila itu lakukan terhadapku? Itu karena dia tidak mau mengurusiku yang mabuk. Menurutmu apa yang akan terjadi padaku kalau dia sampai menemukanku terkapar bau alkohol?"

Zeta tidak berjengit, hanya merengut kesal. Justru Thea-lah yang berjengit membayangkan hal-hal terburuk yang bisa menimpanya—mulai dari mengunci pintu rumah sampai dia harus tidur di teras, mengurungnya di loteng sampai sesak napas, atau tidak memberinya makan selama berhari-hari. Buruk. Minum alkohol malam ini adalah keputusan yang buruk.


Jangan lupa vomentnya ya :D

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang