Bab 40

4.9K 506 13
                                    

Dari kebun mawar, Gusta merentangkan sayapnya dan terbang menuju Lapangan Badra. Hari itu adalah hari latihan seluruh pasukan penjaga gerbang. Setiap minggu ia harus memberi pengarahan serta informasi terbaru dari Dimia dan Althalos. Seperti biasa, ia akan menutup arahannya dengan instruksi untuk menjaga semua gerbang dengan lebih ketat lagi dan jangan sampai mereka lengah.

Dulu, dia hanya perlu memberikan pengarahan seperti ini dua bulan sekali. Tapi, sekarang keadaannya berbeda. Ia perlu melakukan hal itu setiap minggu—setiap hari bahkan, kalau ia sanggup. Ia tak ingin mereka terbuai dengan mulut manis para petinggi Casthea yang selalu mengatakan kalau semuanya aman-aman saja.

Tidak!

Tidak ada yang aman sekarang ini. Gusta bisa merasakan kalau sebentar lagi mereka akan mencium hawa iblis di Casthea dan itu benar-benar membuatnya takut.

Saat Gusta hadir di lapangan itu, seluruh pasukan langsung memberi hormat. Ia berjalan cepat diikuti oleh mantra anti-sadapnya yang menyelubungi mereka dengan kubah transparan agar pembicaraannya nanti hanya bisa di dengar oleh mereka—walaupun memang tak ada orang di sana.

"Selamat sore," Gusta menyapa pasukan itu.

"Selamat sore, Lord Hellion!" sapa mereka balik dengan suara lantang yang serentak.

Gusta berdiri mengamati pasukan di hadapannya dengan seksama, memastikan tidak ada penyusup di antara mereka, kemudian memulai pengarahannya. "Saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal—"

Lagi-lagi ujung kalimatnya tertelan begitu saja. Ada yang mencekat jantungnya, tapi ia tak tahu apa itu. Mendadak ia merasa familiar dengan situasi ini. Dan entah kenapa, ia ingin sekali menoleh jauh ke kanan. Tak ada apapun di sana kecuali sebatang pohon maple, berdiri tegak seorang diri. Gusta menggunakan mata malaikatnya untuk memastikan kembali. Hasilnya tetap sama. Tidak ada siapapun di sekitar pohon itu.

Tapi kenapa ia merasa seseorang pernah memperhatikannya dari arah sana?

"Lord Hellion?" Maxo, komandan latihan sore itu mencoba menyadarkan Gusta dari lamunannya.

"Ah, maaf." Gusta menunduk malu, lalu segera mengangkat wajahnya kembali. "Yang mau saya sampaikan—pertama, klan Soroya dan Hellion mulai kewalahan di Dimia. Beberapa dari kalian akan dikirim ke Dimia untuk membantu mereka. Kedua, malaikat laki-laki yang bukan klan petarung akan diberikan pelatihan militer juga mulai besok. Kuharap kalian bisa melihat gambaran besarnya, betapa tidak amannya keadaan kita sekarang. Jangan—pernah—meremehkan keanehan sekecil apapun yang terjadi di gerbang kalian. Paham?"

Gusta membuka selubung mantra anti-sadapnya dan terbang meninggalkan tempat itu. Namun, belum ada semenit ia terbang, ia langsung turun lagi. Kali ini ia mendarat di tanah kosong dekat kebun tanaman herbal. Tanah itu benar-benar kosong, tidak ada apapun di sana. Tapi kenapa Gusta terus menerus menatap area kosong itu? Tenggorokannya tercekat dan napasnya mengalir dalam tempo yang tidak teratur. Tidak hanya itu, ketika ia melihat ke bawah, sinar sihir penyembuh sudah menyala di telapak tangannya.

Siapa yang ingin Gusta obati? Jangankan yang terluka—tak ada siapapun di sana.

"Lord Hellion?"

Gusta membalik tubuhnya saat mendengar namanya disebut. Lady Crystal dari klan Momusora berjalan di atas jalan setapak dari arah kebun herbal. Alis Gusta bertaut. Tidak mungkin Gusta harus menyembuhkan wanita itu. Wanita itu adalah salah satu penyembuh paling sakti di Casthea.

"Lady Crystal, selamat sore." Gusta melangkah mendekati wanita itu. Wanita itu membalas sapaannya dengan senyuman formal dan membungkuk memberi hormat. Secara kasta, derajat wanita itu sebenarnya sama dengannya di Casthea. Tapi dia selalu merendahkan dirinya mengatakan kalau klan Momusora tidak ada apa-apanya dibandingkan klan Hellion, jadi wanita itu selalu bersikap sangat sopan terhadapnya. "Lama tidak berjumpa."

Gusta melihat kening wanita itu mengerut setelah mendengar kalimat terakhir yang ia ucapkan. "Begitukah?" wanita itu bertanya balik, tampak tidak yakin.

"Apa kita pernah bertemu belakangan ini?"

Sekarang pertanyaan Gusta membuat Crystal semakin bingung. Ekspresi di wajahnya menjadi sangat rumit. "Tidak, seingatku. Tapi—" Wanita itu, masih dengan keningnya yang mengerut, mengamati wajah Gusta cukup lama. "Ternyata, memang sudah lama ya kita tidak bertemu?"

Sial. Wanita itu baru saja membaca ingatannya tanpa ijin.

"Apa yang sedang kau lakukan di tempat ini?"

Crystal mengedikkan alisnya, "Oh, aku yang seharusnya bertanya padamu. Tidak ada apa-apa di sini kecuali kebun herbalku."

"Ah, itu adalah kebun herbalmu?"

Crystal mengangguk, lalu mengajak Gusta berjalan menghampiri kebunnya.

"Aku bisa mencium bau herbalnya . Kebunmu saat ini sangat...aktif?" Gusta tak tahu bagaimana menggambarkan keadaan kebun Crystal. Semua tanaman tumbuh dengan lebat dan subur sehingga tak sedikit ranting atau daunnya saling bersinggungan. Mirip seperti menjejalkan seisi desa di satu rumah yang kecil. Wanita ini terlihat mencoba mendapatkan produksi sebanyak mungkin.

"Maksudmu 'produktif'?"

"Iya. Produktif—maaf," Gusta cepat-cepat merevisi kalimatnya.

"Aku menanam kunyit hijau sebanyak mungkin," ujar Crystal dengan tubuh membungkuk memeriksa daun tanamannya satu per satu.

Kunyit hijau? Gusta hanya tahu satu manfaat dari tumbuhan itu.

"Ya, ramuan penyembuh kutukan tidur." Lagi-lagi wanita itu menyelinap masuk ke dalam pikiran Gusta.

"Kutukan tidur? Kenapa spesifik sekali untuk kutukan tidur?"

Crystal menghela napas panjang. Ia memejamkan matanya perlahan, lalu menggeleng. Anting-anting besar yang menggantung di telingannya bergemerincing. "Bagaimana ya harus menjelaskannya—"

Semoga wanita itu tidak sedang mencoba menyombongkan bakat meramalnya.

"Kutukan itu adalah yang paling kukhawatirkan dengan melihat keadaan saat ini. Aku selalu merasa mimpi adalah kelemahan kita dan aku mencoba untuk berjaga-jaga."

"Terima kasih sudah memikirkan hal itu—"

"Kau yakin kita tidak pernah bertemu belakangan ini?"

Gusta terkejut wanita itu memilih untuk kembali ke topik pertama mereka daripada menjelaskan soal kutukan tidur pada Gusta. "Memangnya ada apa, Lady Crystal?"

"Aneh. Sangat aneh."

Gusta mencelos mendengar kata itu terucap dari mulutnya. Kalau seorang klan Momusora sudah merasa ada yang aneh, berarti memang ada yang aneh. Mereka adalah malaikat dengan intuisi tertajam dan bakat meramal yang hebat. Seisi Casthea tidak pernah meragukan predikat itu untuk mereka.

"Karena aku masih menyimpan cawan mimpimu dari enam bulan yang lalu—bukan," Crystal membuat isyarat tunggu dengan telapak tangannya, berusaha meralat ucapannya tadi, "Aku masih menyimpan cawan mimpi yang kau masuki enam bulan yang lalu."

Gusta mematung. Rasanya ada yang meledakkan bom di dalam kepalanya. Darahnya rasanya berhenti mengalir seketika bersamaan dengan napasnya yang tertahan. Ia tak bisa merasakan kakinya menapak, tapi ia tidak sedang melayang karena sayapnya masih menutup. "Aku..." Gusta terbata. "Aku pernah memasuki mimpi seseorang?!"

Mata Crystal membesar. Sepertinya ia sedang mengalami reaksi yang sama seperti Gusta. "Kau tidak ingat sama sekali?"

Gusta menggeleng. Apa-apaan ini?

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang