Bab 21

5.6K 490 7
                                    

Tepat jam 6 pagi, Isla mengambil ponselnya yang menjerit mencoba membangunkannya. Tak berniat menekan tombol untuk membungkam alarm di ponselnya, Isla langsung melempar ponsel itu ke arah lemarinya. Di sanalah fungsi bantal-bantal yang tergeletak membentengi pintu lemari itu—agar ponselnya tidak hancur berkeping-keping.

Isla menggeliat, lalu tidur lagi.

Satu setengah jam kemudian, ia terbangun. Tangannya menggapai-gapai meja kecil di sebelah tempat tidurnya dan tidak menemukan apapun kecuali lampu tidur. Sepertinya ia lupa kalau ponselnya sudah terjun bebas ke lantai.

Lalu ia tidur lagi.

Jam 8 pagi, Nero—kucingnya yang sudah kelaparan menyelinap melalui lubang di pintu kamar itu. Nero adalah kucing mix breed dari Persia dan Scottish Fold jadi bentuknya sangat aneh tapi menggemaskan—gendut, berbulu panjang dan punya telinga pendek yang melipat ke bawah. Nero melompat dan mendarat tempat di atas wajah Isla—sepertinya ia sudah melakukannya rutin setiap hari sehingga mendapat presisi yang seperti itu.

Sesak napas karena hidungnya tersumpal perut si Nero, Isla pun menarik tubuh kucingnya dan menggesernya ke samping. Tapi Nero adalah kucing pejuang. Tak mau kalah sampai di sana, kucing itu kini naik ke punggung Isla yang tidur tengkurap lalu melakukan pijatan kecil menggunakan keempat kakinya—

Dan kuku kakinya yang tajam.

"Aku bangun, Nero! Aku bangun!" Isla berkutat melepaskan kucingnya cukup lama karena kucingnya sekarang menempel seperti velcro.

Walaupun Nero senang merundungnya, tapi Isla tetap sayang pada kucing itu karena kucing itu adalah satu-satunya makhluk hidup yang menemaninya di rumah itu. Isla yatim piatu setelah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan mobil. Bibinya, satu-satunya saudara dekat yang dimilikinya, menolak mengurusnya setelah lulus SMP. Jadi, dia sudah terbiasa untuk hidup sendiri.

"Makan yang banyak ya," ujar Isla sambil mengisi penuh mangkuk makan Nero.

Ia memberi Nero makanan kucing termahal yang ada di pasaran, tapi Isla sendiri hanya makan sarapan yang sederhana—telur dadar, roti dan jus jeruk. Ia baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai editor surat kabar. Alasannya aneh: karena dia terlalu sering melamun. Entahlah.

Isla mengabaikan suara Nero yang minta mangkuk keduanya dan tetap berfokus pada laman lowongan kerja yang dibacanya melalui ponsel. Isla tahu kucingnya tidak akan berhenti meminta kalau ia turuti keinginannya. Setelah dua menit, akhirnya Nero berhenti mengeong.

"Ayo, Nero. Kita belanja."

Belum selesai Isla mengambil tali dari laci meja di dekat televisi, Nero sudah melompat ke atas lemari pajangan dan tiarap melakukan protesnya. Nero adalah kucing sejati dan jalan-jalan hanya untuk anjing, begitu paham yang dianut kucing itu.

"Nero, turun!"

Lima menit berjibaku dengan segala cara, akhirnya Isla berhasil menurunkan Nero dan memasang tali. Namun, belum ada dua langkah dari rumahnya, Nero sudah terlentang—mogok jalan. Sambil menghela napas kesal, Isla membiarkan kucing itu melakukan gerakan mogoknya lalu mengambil sepeda tuanya. Ia meraup tubuh Nero dan memasukkan kucing gendut itu ke dalam keranjang depan. Kali ini Nero tidak menolak.

"Gara-gara kau, aku jadi batal jalan pagi," gerutu Isla sambil mengayuh sepedanya melewati Gereja terbesar di Edinburgh. Nero pura-pura tuli, tentu saja.

Rute pertama Isla adalah toko bunga. Ia menghabiskan tiga puluh menit hanya di toko itu. Sebenarnya dia di sana hanya membeli beberapa batang bunga mawar putih kesukaannya, tapi ia suka mendengar Mrs. Davies bercerita tentang pelanggan-pelanggannya yang membeli bunga untuk ungkapan perasaan mereka, baik itu lamaran, tunangan, atau ulang tahun pernikahan. Isla suka sekali mendengar cerita tentang sepasang manusia yang saling jatuh cinta.

Setelah Nero mengancam akan merusak bunga-bunga yang ada di sana karena bosannya, akhirnya Isla beranjak dari toko itu. Ia lanjut mengayuh sepedanya, kali ini menuju toko kesukaan Nero—toko bahan pokok. Isla masuk ke dalam membeli bahan-bahan makanan pokok termurah yang bisa ia temukan di toko itu. Ia terus mengingatkan dirinya kalau ia sekarang pengangguran, jadi tidak ada uang untuk membeli cemilan tak penting. Sementara Nero duduk di dekat counter ikan. Kepalanya mengikuti tangan si tukang ikan bergerak, seperti habis kena hipnotis.

"Beruntung sekali kau, dapat salmon gratis dari si tukang ikan. Aku boleh minta?" Isla bertanya pada kucingnya saat mereka meninggalkan toko itu. Nero hanya mengeong sekali. Tak tahu apa artinya, tapi Isla akan tetap membagi salmon itu untuk dirinya sendiri juga.

Pemberhentian terakhir dari sepeda Isla adalah toko buku. Di sini ia menghabiskan jatah uang jajannya hari itu, untuk memborong semua novel roman picisan. "Aku perlu membaca buku-buku pesaingku," Isla membela diri saat Nero menatapnya jengkel. Mungkin kucing itu protes kalau uang sebanyak itu sebaiknya dibelikan lebih banyak ikan salmon saja.

Sampai di rumah, Nero—entah kenapa kelelahan padahal ia hanya duduk di dalam keranjang—langsung melompat ke atas tempat tidurnya dan tidur pulas. Hal ini sangat penting bagi Isla karena dengan tidurnya Nero, artinya kedamaian baginya untuk berpikir. Isla memencet perut kucingnya sekali untuk memastikan kucing itu benar-benar tertidur. Setelah kena cakaran maut Nero dan kucing itu kembali mendengkur, akhirnya Isla bisa memastikan kalau ia benar-benar mendapat waktu untuk dirinya sendiri.

Isla menaiki tangga dan masuk ke ruangan di sebelah kamar tidurnya. Ia menyebutnya sebagai ruang kerja walaupun nyatanya ia sekarang menganggur. Ruangan itu kecil tapi tampak penuh. Kalau dilihat dari minimnya penerangan dan banyaknya tempelan kertas di dindingnya, ruangan itu mirip ruangan detektif. Isla menempel apapun isi pikirannya di dinding ruangan itu—tidak hanya tulisan tapi juga foto-foto orang yang kira-kira mirip dengan penggambaran tokohnya. Kalau orang tidak tahu itu ruang kerja penulis, mungkin mereka akan mengira Isla adalah pembunuh berantai yang sedang merencanakan pembunuhan berikutnya.

Tak banyak yang tahu Isla punya ambisi sebagai penulis novel roman, karena (1) Isla tak pernah menulis dengan nama aslinya dan (2) naskah novel Isla tak pernah terbit kecuali di blog pribadinya atau Wattpad (itu juga view-nya sedikit). Ia selalu berdalih karena mungkin dengan bekerja kantoran, fokusnya untuk menulis jadi teralihkan. Sekaranglah saat yang tepat untuknya lebih banyak menulis.

Sebenarnya kalau ditanya banyak atau tidak, entah kurang banyak apalagi tulisannya. Di meja kerjanya ada dua tumpukan naskah. Tumpukan pertama berlabel DITOLAK—menggunung hingga hampir tumpah. Tumpukan kedua berlabel DITERIMA hanya ada 4 lembar cetakan A4. Itupun cerita pendek yang diterbitkan di koran kampus. Tapi tumpukan kedua tetap menyemangatinya, bahwa tidak ada yang mustahil. Hanya perlu lebih banyak usaha.

Seperti mencuri identitas seorang mahasiswi di universitas tersebut agar tulisannya bisa terbit.

Ia mengambil buku corat-coretnya dan mulai menulis, menarik garis, membuat lingkaran—apapun untuk bisa menggambarkan ide cerita di kepalanya. Ia tidak hanya melakukannya untuk satu ide, tapi hingga setengah buku itu penuh hanya dalam 15 menit.

Isla tidak tahu, kalau dari jarak 3 km jauhnya dari rumah itu, dari atas papan reklame minuman soda, ada dua malaikat yang sedang memperhatikannya.

"Kau yakin dia orangnya?" Zeta memastikannya kembali sambil bersandar di tiang lampu reklame, mengunyah crepes stroberinya.

Thea yang duduk dengan kaki berayun di papan reklame itu, tampak sedikit takjub—bukan hanya dengan kemampuan menulis Isla tapi juga keberuntungan mereka menemukan manusia indigo seperti gadis itu. Thea pun tersenyum miring. "Tentu saja. Memangnya kita punya pilihan lain?"

"Jadi, kita mulai saja rekrutmennya?" Zeta membakar kertas pembungkus crepes dengan bola api yang ia buat sendiri di telapak tangannya dan membiarkan ampas hangusnya terbang tertiup angin.

"Ayo."

Mereka berdua melompat dan meluncur menembus langit kota Edinburgh menuju Magenta Street no. 15.

* * *

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang