Bab 24

5.1K 539 10
                                    

"EMPAT HARI LAGI!"

Thea salto di atas tempat tidurnya membayangkan kalau sebentar lagi ia bisa kembali ke Casthea. Tak ada lagi polusi, tak ada lagi kewajiban harus menggunakan bentuk manusia mereka, tak ada lagi kejar target. Tapi ia harus berperang melawan Cato lagi setiap hari? Terserah! Teriaknya dalam hati. Perang melawan Cato tidak ada apa-apanya dibandingkan kehidupan yang payah di Dimia.

Satu-satunya yang ia sesalkan adalah harus meninggalkan Hellion Manor. Ia tak akan pernah merasakan kehidupan yang senyaman ini di Casthea. Rumah bagai istana dengan semua peri rumah melayani mereka dengan pelayanan terbaik. Seperti saat ini, ada satu peri rumah yang mengetuk membawakannya teh karena Thea tak kunjung turun ke bawah untuk sarapan.

"Terima kasih," ucap Thea pada si peri rumah kurus dengan rambut kemeahan.

"Oh, ngomong-ngomong, Lord Hellion meninggalkan pesan untuk Anda, Nona Thea," dengan suaranya yang lebih terdengar seperti cicitan, peri rumah itu menyodorkan satu lembar kertas.

Maaf aku akan terlambat pulang. Aku harus ke Casthea. Ada sedikit urusan di sana. Nikmati sisa harimu di Edinburgh :) – Gusta

Kalau dipikir-pikir, Thea belum pernah melihat Gusta lagi setelah percakapan mereka di dapur pagi itu. Setelah Eropa, Gusta harus terbang (dengan pesawat terbang, tentunya) ke Jepang dan Korea. Lalu kini ia harus ke Casthea. Semoga urusan yang disebutnya itu bukan karena Thea.

Kening Thea kemudian mengerut menyadari satu hal: kenapa Thea terdengar seperti istri yang menantikan suaminya untuk pulang?

"Ayo, Zeta! Kita harus segera menyelesaikan detensi kita!" Thea susah payah mencoba menyeret Zeta yang asyik berpangku tangan di jendela kamarnya, menonton satu pleton tentara yang sedang latihan. Gadis itu melakukannya dengan mata malaikatnya, tentu saja. Karena satu-satunya pemandangan dari jendela itu adalah ladang.

"Kau saja duluan," Zeta mengusir Thea.

Dengan ambisi untuk secepat mungkin kembali ke Casthea dan memberi pelajaran pada Serena, Thea pun meninggalkan Zeta. Ia menuruni tangga, tanpa menyentuh sarapannya. Hal itu membuat para peri rumah sedih dan memaksa Thea membawa roti isi di dalam saku jaketnya karena mereka takut Thea kelaparan. Ah, kapan Thea bisa punya peri rumah seperti mereka? Yang ada di rumahnya hanyalah monster berkedok peri rumah.

Begitu sampai di luar dan memastikan tidak ada apapun di sana, Thea menggunakan tubuh manusianya. Hari ini ia memutuskan untuk mengayuh sepeda karena udara tidak sedingin yang ia kira. Selama ia di Dimia, ia belum pernah mengayuh sepeda sama sekali.

Ternyata bersepeda di dalam kota Edinburgh sangat menyenangkan. Thea bisa bergerak cepat menghirup aroma toko-toko di sepanjang jalan yang ia lewati—bau adonan roti dipanggang, bunga-bunga musim panas, ikan segar, kopi, bahkan kulit hewan yang sedang diproses. Ia juga bisa melihat bagaimana warga Edinburgh bertegur sapa di pagi itu. Setelah ada 950 cinta baru di kota itu, rasanya banyak ekspresi cerah di setiap sudut kota.

Yah, mungkin ia akan sedikit merindukan Dimia, terutama kota ini.

Thea memarkir sepedanya di depan Magenta Street nomor 15 itu. Ia mengetuk pintunya, tak ada jawaban. Ia mengulangi ketukannya beberapa kali sampai akhirnya ia berteriak tak sabar, "Isla! Buka pintunya! Kita punya banyak pekerjaan hari ini!"

Tetap nihil.

"Isla! Buka! Kalau tidak, aku akan menghancurkan pintu rumahmu!"

Thea langsung mengunci mulutnya saat orang-orang yang kebetulan yang lewat di jalan itu menoleh mendengar ancaman Thea. Kehabisan akal, akhirnya Thea merusak gagang pintu itu dengan sihirnya. Setelah berhasil masuk, Thea tak tahu harus bereaksi bagaimana melihat apa yang ada di hadapannya.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang