Bab 30

5.6K 510 9
                                    

Gusta mengepalkan tangan kanannya, bersiap mengetuk pintu kayu eboni di hadapannya. Tap belum sempat ia mengetuk, pintu itu sudah terbuka sendiri. Gusta tidak terkejut. Rumah yang ia datangi memang serba mistis. Mungkin pemiliknya sudah tahu kalau Gusta akan mengunjunginya bahkan sebelum Gusta tiba di Gerbang Krea.

Begitu Gusta melangkah masuk, wangi cendana langsung menyambutnya. Bukan karena si pemilik rumah membakar kayu cendana, tapi dia menanam pohon cendana di dalam rumahnya. Si pemilik rumah sampai membuat lubang di atapnya untuk membiarkan pohon cendana itu tumbuh setinggi-tingginya.

Di dahan pohon cendana itu tergantung beberapa kertas emas yang ujungnya sudah terbakar sedikit. Kertas itu digantung bukan dengan benang, melainkan helai rambut ekor dari kuda Pegasus. Walaupun Gusta tak bisa membaca apa yang dituliskannya, tapi Gusta tahu kalau kertas-kertas itu adalah jimat. Membakar ujung kertas dan menggantungnya dengan rambut Pegasus di pohon cendana adalah jimat khas klan Momusora.

Di sisi kiri pohon cendana ada sekitar delapan mangkuk. Masing-masing mangkuk berisi cairan dengan warna yang berbeda-beda. Sesekali cairan itu bereaksi sendiri-sendiri—ada yang berdesis, ada yang berubah warna, ada yang mengeluarkan uap. Apapun itu, sebaiknya Gusta tidak menyentuhnya.

"Tertarik dengan cawan mimpiku?"

Suara wanita yang tiba-tiba terdengar di ruangan itu mengagetkan Gusta. Seorang wanita dengan ikat kepala dan anting-anting panjang keluar dari balik tirai di belakang pohon cendana. Saat ia berjalan menghampiri Gusta, kertas-kertas jimat yang dilewatinya bergoyang kecil.

Wanita itu tampak tak jauh lebih muda dari ibu Gusta. Cuping hidungnya tinggi, matanya memiliki ujung yang menurun, dan bibirnya tipis melebihi tipisnya bibir Gusta. Sayapnya lebih tajam dari sayap malaikat kebanyakan dan berpendar keperakan saat tertimpa cahaya.

"Ah, Lady Crystal. Maaf aku tidak sopan."

Wanita bernama Crystal itu menutup bibirnya dengan jemarinya dan tertawa kecil. "Jangan panggil aku Lady. Stratamu bahkan lebih tinggi dariku."

Kemudian tawanya terhenti dan matanya mengamati kedua mata abu-abu Gusta. Inilah yang sebenarnya yang membuat Gusta enggan menyambangi rumah ini. Lady Crystal punya kebiasaan buruk membaca nasib, pikiran, dan mimpi lawan bicaranya tanpa ijin. Percuma saja memblokir pikiran darinya. Dia bisa mengetahui segalanya.

Sayangnya, Gusta memang harus menemuinya hari ini.

"Duduklah, Lord Hellion," Crystal mempersilakan Gusta duduk di bangku kayu dekat jendela.

"Terima kasih sudah menarikku keluar dari mimpi itu tempo hari, Lady Crystal," Gusta sedikit membungkukkan tubuhnya.

Crystal tidak menanggapi, melainkan memandang jauh keluar jendela. "Kau dengar itu?" Wanita itu memiringkan wajahnya sedikit dan memejamkan matanya. "Dimia merintih, Thanaterra menyalak. Beruntung angin bisa menembus apapun sehingga kita dapat mendengarnya."

Gusta tidak menjawab. Ia tak mendengar apapun. Tapi ia tahu apa yang dikatakan wanita itu benar adanya.

Tiba-tiba jari-jari Gusta mengepal erat, lehernya sedikit tercekat. Sekelebat apa yang disaksikannya di mimpi Thea menyambar pikirannya—dunia yang terbagi, ladang bunga kosmos, awan hitam, dan iblis itu. Gusta langsung bisa merasa keringat dingin membasahi pelipisnya.

Crystal yang menyadari hal itu, membuka telapak tangannya. Sebuah cangkir kecil langsung terbang dan mendarat pelan di atasnya. "Teh bunga teratai. Minumlah," Crystal menyodorkan cangkir itu pada Gusta.

Gusta mengambil cangkir itu tapi tidak langsung meminumnya, melainkan melihatnya dengan ragu-ragu. Walaupun tangannya sudah gemetar karena terus-terusan menyaksikan kelebatan mimpi Thea, tapi ia harus tahu apa yang ada di dalam cangkirnya itu.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang