Bab 29

4.9K 485 5
                                    

Covernhill.

Sebuah papan nama desa menyambut Gusta di mimpi Thea. Gusta menoleh ke kanan. Hatinya langsung terenyuh saat desa itu menyuguhkan pemandangan bukit bunga kosmos. Rumput hijau berkilau tertimpa sinar matahari dengan bunga kosmos membentuk bercak merah jambu. Kupu-kupu terbang hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya dengan riang. Bukit itu sangat indah, seperti lukisan yang menentramkan jiwa. Kepala Gusta bergerak ke kiri. Namun belum sampai ia menoleh penuh, Gusta tak sengaja menunduk.

Seketika jantungnya berhenti berdetak.

Ada yang aneh dengan tanah yang ia injak. Sebuah garis lurus membuat batas kontras membagi rerumputan di bawah kedua kakinya. Kaki kanannya ada di atas rumput hijau segar yang mengalasi bunga-bunga kosmos tadi. Kaki kirinya sebaliknya—menapak di atas rerumputan yang mati. Ia menelan ludah. Haruskah ia lanjut menoleh ke kiri? Ia bertanya pada dirinya sendiri, sadar ada yang tidak beres.

Perlu beberapa tarikan napas untuk Gusta meyakinkan dirinya sendiri kalau ia harus tahu apa yang terjadi di sebelah kirinya. Jantungnya kini berontak ketakutan, membuat kepalanya terasa pening. Tapi ia memaksa kepalanya menoleh. Ia pun langsung menyesali keputusannya itu setelah menyaksikan apa yang ada di sebelah kirinya.

Kehancuran total.

Rumput, pohon, bunga kosmos dan tumbuhan lainnya di sana hangus seperti ada api yang membakarnya serentak. Pohon-pohon kehilangan daunnya, menyisakan batang yang berselimut abu. Bunga-bunga kosmos rata dengan tanah, tak tampak warna merah jambunya sama sekali.

Gusta melihat jauh ke bawah bukit, ke arah rumah penduduk. Keadaannya tidak lebih baik di sana. Semua rumah luluh lantak, hitam dan hangus—menyisakan rangkanya. Tak ada kehidupan, tentu saja. Yang ada hanya abu sisa pembakaran, memudarkan pandangan saat diterbangkan angin.

Ya Tuhan, mimpi apa ini?

Mimpi ini terlalu mengerikan. Rasanya ia ingin pergi saja. Dunia tempatnya berdiri sekarang terbelah—seperti dua sisi cermin yang berbeda. Untuk pertama kalinya Gusta merasa dihadapkan dengan kematian dan kehidupan sekaligu dan hal itu membuatnya keringat dingin menetes di pelipisnya. Sampai sekarang pun jantungnya masih tak berhenti meronta.

Kemudian ia teringat untuk apa ada di sana.

Thea!

Gusta membeku. Tadi, ia berani bersumpah sudah mengumpulkan suaranya untuk memanggil nama Thea. Tapi tak ada yang keluar dari mulutnya. Bahkan angin kencang yang berhembus menyentuh kupingnya pun tak bersuara.

Mimpi ini bisu?!

Ini lebih buruk dari perkiraannya. Bagaimana ia bisa menyelamatkan Thea kalau ia sendiri tak tahu gadis itu ada di mana? Di dunia yang terbelah dan mute total seperti ini, hampir mustahil rasanya. Bisa-bisa ia tersesat di mimpi itu dan tidak bisa kembali ke dunia nyata.

Tepat saat ia mulai panik, sudut matanya menangkap pergerakan di dunia sebelah kanannya. Seorang gadis—yang entah sejak kapan di sana—berjalan lincah di antara bunga-bunga kosmos, seakan tidak menyadari ada apa di sisi seberangnya. Rambut coklat ikalnya bergerak seperti tirai sutra yang terhembus angin. Gaun biru muda yang ia gunakan menyentuh kelopak-kelopak bunga kosmos dan membuat bunga-bunga itu bergoyang sedikit.

Gusta berjalan secepat mungkin, mencoba mendekati gadis itu. Saat Gusta menjulurkan tangannya hendak menyentuh pundaknya, gadis itu pun menoleh.

Thea?!

Gadis itu adalah Thea. Dari wajahnya ia terlihat sekitar 10-15 tahun lebih muda dari wajah Thea yang dikenalnya. Tak ada sayap, tak ada tato klan, Gusta menyimpulkan kalau gadis ini adalah Thea sebelum ia naik menjadi malaikat.

Gadis itu menatap Gusta tak berkedip, membuat Gusta menahan napas. Apa gadis itu mengenalinya?

Gusta mencoba menggerakkan mulutnya, tapi Thea masih diam menatapnya, seperti ada yang menekan tombol pause pada dirinya. Lalu, Gusta menyadari pembesaran di pupil Thea. Apa? Apa yang dilihatnya pada Gusta?

Tiba-tiba saja Thea berlari meninggalkan Gusta. Berlari sekencang yang bisa dilakukan kaki-kaki kurusnya yang tidak beralaskan apapun. Gusta masih tak paham kenapa Thea setakut itu melihat dirinya? Akhirnya ia menyadari satu hal.

Thea tidak ketakutan karena melihat Gusta. Ia takut dengan apa yang ada di belakang Gusta.

Sebuah gumpalan awan hitam raksasa bergerak sangat cepat. Gusta tahu karena gumpalan itu membesar dan mendekat hanya dalam hitungan detik. Entah apa muatan di dalamnya, tapi awan itu menyapu semua yang dilewatinya—mengamuk dan menelan tanpa ampun. Tak ada yang bisa selamat dari awan itu.

Gusta berusaha sekuat tenaga mengembangkan sayapnya untuk segera kabur dari sana. Tapi nihil. Ia tak bisa terbang.

Tak punya pilihan lain, Gusta pun mengerahkan seluruh kekuatan kakinya untuk berlari secepat mungkin sebelum awan itu ikut menelannya. Ia menerobos bunga-bunga kosmos, mencoba mengikuti arah gadis itu berlari. Seperti memang ditakdirkan untuk bertemu lagi, mata Gusta menangkap sebersit gaun biru Thea dan melihat gaun itu meluncur menuruni bukit. Gusta ikut menceburkan dirinya juga, mengejar Thea yang terguling sangat cepat seperti bola salju.

Tubuh Thea terhempas di tepi sungai, meninggalkan jejak darah dari kakinya. Tapi dengan keadaan seperti itu, Thea tetap memaksakan diri dan bangkit. Hati Gusta langsung tercekat membayangkan seperti apa rasa sakit yang harus dirasakan Thea. Sekarang Gusta tahu kenapa Thea sampai mengigau, takut mimpi ini datang lagi.

Awan itu!

Gusta hampir lupa kalau mereka sedang berlari dari kejaran awan buas itu. Tapi terlambat. Kaki Gusta menolak melangkah lebih jauh lagi. Seperti ada magnet di bawah tanah yang menahan kakinya dan membuatnya terlihat seperti mainan figurin yang tolol. Dalam kondisi mematung seperti itu, ia hanya bisa menyaksikan awan itu sudah membumbung tinggi di depan matanya—bersiap menghantam dirinya.

Carlo! Tarik aku keluar dari mimpi ini! Gusta membatin, tak pernah merasa setakut ini sebelumnya.

Tak ada yang terjadi. Ia masih ada di sana—dan awan itu membungkusnya begitu saja. Ia tidak merasakan sakit sedikitpun dan tubuhnya masih utuh diselimuti si awan buas. Ia paham sekarang. Tubuhnya tak lebih hanya seperti hologram di dalam mimpi ini. Tak ada yang bisa melihatnya, menyentuhnya, dan mendengarnya. Ada apa? Apa karena ini bukan mimpinya? Lalu bagaimana ia bisa menarik Thea keluar dari sini?

Mendadak seisi kepalanya kacau. Misi penyelamatan Thea dari mimpi itu mulai terasa mustahil. Dia juga tak tahu bagaimana caranya keluar dari mimpi ini. Ia merasa seperti terjebak di Hutan Tama karena tak satupun sihirnya bekerja di sini.

Akhirnya Gusta memutuskan untuk mencoba berlari di tengah-tengah kepulan awan itu. Ia tak tahu ke arah mana harus berlari, ia hanya berharap bisa menemukan gadis itu lagi.

Setelah hampir semenit berlari, kepulan awan itu mulai surut—membuka penglihatannya pada jalan di depannya lagi. Tapi terlalu cepat bagi Gusta untuk bernapas lega karena ia merasa ada yang janggal dengan surutnya awan itu. Ia pun mengerem langkahnya dan memperhatikan dengan lebih seksama.

Hatinya mencelos.

Semua asap hitam kelabu itu bukannya surut begitu saja, melainkan seperti disedot dan menggumpal menjadi sesuatu—

Iblis?!

Sesosok bertudung hitam, besar, jangkung dengan jari-jari berkerak dan kuku-kuku setajam sabit terbentuk dari asap itu. Gusta merasa tubuhnya mematung seketika menyaksikan sosok itu.

Bagaimana...

Bagaimana Thea bisa memiliki mimpi soal iblis?

Gusta menangkap percikan sinar biru dan merah dari kejauhan. Sebelum ia bisa melihatnya lebih dekat, ada pusaran di belakang yang menghisap tubuhnya dari sana.

Tidak! Jangan sekarang!

Terlambat. Mimpi itu terkikis perlahan, menjadi seperti butiran pasir yang berpencar menghilang di depan mata Gusta. Butiran pasir itu lenyap dan menghasilkan kegelapan total.

Seseorang sudah menariknya keluar dari mimpi itu.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang