Bab 41

4.7K 516 10
                                    

Gusta tak percaya akhirnya ia ada di dalam rumah itu. Rumah tinggal Crystal Momusora mungkin adalah rumah paling aneh dan mistis di antara rumah-rumah para malaikat lainnya. Semua bertanya-tanya kenapa Crystal memilih meninggalkan Kastil Momusora dan tinggal di rumah kecil ini bersama pohon cendana kesayangannya.

Tapi Gusta tak ingin menanyakan hal itu. Ia takut membuat wanita itu marah. Di antara klan yang ada di Casthea, membuat marah para malaikat Momusora adalah yang salah satu yang paling mengerikan. Tidak ada yang tahu apa yang akan mereka lakukan untuk membalas dendam. Kalau kau bermasalah dengan mereka, mereka tidak akan pernah menunjukkan kebencian mereka secara terang-terangan. Tapi mereka akan langsung membuatmu terjebak dalam tidur yang abadi.

Saking misteriusnya, di Casthea sampai dibentuk sebuah komite rahasia hanya untuk mengawasi gerak-gerik mereka.

"Ini cawan mimpinya."

Crystal datang meletakkan sebuah cawan mimpi di hadapan Gusta. Cairan di dalam cawan itu berwarna merah, berbuih dan berdesis. Dipelototi beberapa kalipun, Gusta tak merasa familiar dengan cawan itu.

"Aku merasa aneh tiap kali melihat cawan ini." Crystal memutar sebuah gasing kecil berwarna keemasan di atas meja. "Aku tak ingat kita pernah bertemu belakangan ini, tapi cawan ini menunjukkan hal yang sangat berbeda."

"Apa kau tahu pemilik mimpi ini?" Kedua mata Gusta masih tertuju pada cairan di dalam cawan itu. Sekarang cairan itu bergejolak seperti air mendidih.

'Tahu."

Perut Gusta serasa habis mencerna sebuah timah panas. Jantungnya berdetak kencang sekali dan jari-jarinya mulai gemetar. Mungkinkah ia akan mendapatkan jawaban untuk ingatan abadinya?

"Mimpi ini milik seorang manusia bernama Abigail Wilson."

Gusta mencoba mengingat tapi hanya berakhir mengerang frustasi. Nama itu tidak membangunkan ingatan apapun di kepalanya.

"Kau tidak kenal nama itu?" Crystal terlihat sama kecewanya dengan Gusta. Wanita itu menarik laci meja dengan keras, membuat meja itu sedikit bergoyang. Namun, gasing yang ia putar tadi secara ajaib nampak tidak terpengaruh. Gasing itu tetap berputar kencang di tengah-tengah meja. Dari dalam laci, Crystal mengeluarkan sebuah gelas kecil seukuran sloki dari bahan tembaga. Ia menunjukkan gelas itu pada Gusta sambil mengajukan sebuah pertanyaan, "Apa kau mau melihat mimpi itu sekali lagi?"

Gusta awalnya menatap cairan itu dengan ragu-ragu. Dilihat dari manapun cairan itu tak tampak aman untuk diminum. Tapi ia tak punya pilihan lain. Ia ingin teka-teki ini cepat terbongkar. Maka, Gusta pun mengangguk.

Crystal menciduk segelas kecil isi cawan itu dan menyodorkannya pada Gusta. Bahkan di dalam gelas kecil itu, cairan itu masih terlihat bergejolak. Terdengar dengus geli dari Crystal saat Gusta memejamkan matanya sebelum menegak cairan itu.

Aneh.

Lidahnya tidak terbakar sama sekali. Cairan itu justru sedingin air keran. Rasanya juga tidak seburuk yang Gusta pikir. Lebih mirip air bercampur tanah.

"Hitung sampai sepuluh."

Gusta mengikuti instruksi Crystal. Ia pun mulai menghitung dalam hati. "Satu...dua...tiga...empat...lima—"

Hitungannya berhenti di angka lima. Ia merasa tubuhnya ditarik dengan sangat kencang. Saat ia membuka matanya, ia tercengang mendapati dunia yang ia pijak saat ini. Terlalu mengerikan untuk menjadi sebuah mimpi. Untuk apa dulu ia masuk ke mimpi ini?

Dirinya yang ada di dalam mimpi itu tidak bisa ia kendalikan. Ia hanya bisa berperan sebagai penonton menyaksikan apa yang ia lakukan saat ia memasuki mimpi itu sebelumnya. Semua yang ada di mimpi itu—dunia yang terbelah, gadis di ladang bunga kosmos, awan hitam yang buas, sampai munculnya sosok iblis—membuatnya terkejut dan ketakutan. Tapi ia mengingatkan dirinya kalau bukan rasa terkejut atau ketakutan yang harusnya ia temukan—melainkan rasa familiar pernah memasuki mimpi itu.

Dan sayang sekali, ia tidak merasa familiar sama sekali. Semuanya seperti baru dilihatnya sekarang. Ia benar-benar kecewa dengan hasil yang nihil itu. Sampai akhirnya ada pusaran yang menariknya lagi—

Dan Gusta mendengar suaranya sendiri.

Tubuhnya sudah tidak di dalam mimpi itu, melainkan dalam kegelapan total dalam proses kembali ke dunia nyata. Kebisuan mimpi itu sudah sirna dan ia mendengar suaranya berteriak kencang memanggil sebuah nama—

THEA.

Bunyi denting keras terdengar karena gelas yang terjatuh dari tangan Gusta. Gelas itu tidak hanya berdenting sekali, namun berkali-kali karena memantul di atas lantai seperti bola karet. Gusta sendiri seperti mesin rusak—matanya membelalak, mulutnya menganga dengan bibir tak bisa berhenti bergetar. Dari mata yang melebar itu, ada air mata yang berebut meluncur deras untuk membasahi pipinya.

"THEA!"

Gusta mengerang kencang, meneriakkan nama Thea. Cukup satu nama itu untuk membuka peti ingatannya yang terkurung selama enam bulan ini. Begitu tutup peti terbuka, ingatan-ingatannya menyembur mencoba meringsek kembali ke dalam otaknya, menembus perisai yang sekarang tak bisa lagi menghalangi mereka.

Seperti potongan film yang disambung kembali, semuanya ingatannya mulai saling melengkapi dan menjadi masuk akal.

Thealah yang menjadi alasannya untuk membuka mata setiap pagi dan menjalani harinya dengan bahagia. Thealah sumber kerinduan pekatnya yang membuatnya meringkuk setiap hari, tiap kali rindu itu datang menyelimuti dirinya.

Thealah selalu dikaguminya walaupun ia sempat menjadi milik Carlo. Thealah yang memperhatikannya di Lapangan Badra. Thealah yang terluka di dekat kebun herbal Crystal—ia menangis karena tak bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Thealah satu-satunya malaikat yang berani terang-terangan melawan Serena untuk dirinya. Thealah yang selalu memaki, menyebut peri rumahnya sendiri sebagai peri gila. Thealah yang membuatnya menangis dan berdarah saat gadis itu mengorbankan dirinya dalam ritual troca scarta. Thealah satu-satunya yang bisa menyentuh Qilda selain Carlo.

Dan Ergo Pendulum Carlo tidak hilang. Carlo menyerahkannya pada gadis itu.

Tiba-tiba ia teringat pada sahabatnya. Ia harus membuka ingatan Carlo tentang Thea juga! Carlo tidak boleh melupakan gadis yang dicintainya itu selamanya!

"Lord Hellion," panggilan Crystal menghentikan langkahnya. Dengan enggan, Gusta menoleh, padahal ia sudah di pintu rumah itu bersiap pergi. "Siapapun gadis itu, tolong lindungi dia. Dia tidak boleh mati."

Kalimat terakhir yang diucapkan Crystal membuat sekujur tubuhnya merinding. Gusta menunggu beberapa detik, tapi Crystal tak melanjutkan kalimatnya. Ia tahu kalau Crystal tak mau lanjut bicara, itu berarti Crystal tidak tahu lebih detailnya atau Crystal tak boleh membocorkannya. Tak ada yang tahu apa hukumannya. Yang jelas sangat mengerikan, karena klan Momusora akan lebih memilih untuk memotong lidah mereka daripada membocorkan apa yang tidak seharusnya mereka katakan.

Apakah ini berarti wanita itu sudah tidak lagi berpikir iblis yang ada di dalam tubuh Thea sehingga Gusta harus melindunginya?

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang