Bab 36

4.6K 513 34
                                    

"THEA, JANGAN TINGGALKAN AKU..." Gusta yang mulai kehabisan tenaga kini hanya bisa menepuk-nepuk dinding itu dengan putus asa. Air matanya berceceran, darah dari tangannya seperti goresan cat merah yang abstrak membuat dinding itu tidak transparan lagi. "Thea...jangan...kumohon..." Gusta tak bisa lagi mengatakan kalimatnya dengan utuh.

'Kalau aku tahu bagaimana mengubah aturan itu, maukah kau tinggal bersamaku?'

Kalimat yang diucapkan Gusta saat sarapan pertama mereka di Hellion Manor tiba-tiba menggema di pikiran Thea, menyemangati semakin banyak air mata yang mengalir. Ia masih ingat bagaimana Gusta mengobatinya di Lapangan Badra, sebelum Maribelle muncul dan memeluknya. Masih ingat jelas di ingatan Thea bagaimana tawa lepas Gusta saat Thea menceritakan soal paginya bersama Cato.

Terima kasih, Gusta. Sudah mau mencintaiku walau semua orang membenciku. Terima kasih sudah menjadi malaikat pelindungku.

Ah, Cato...

Apa kabarnya nanti tanpa Thea? Lebih bahagia, yang jelas. Dia akan berhenti menggerutu. Kata-kata kotor yang terlontar dari mulutnya akan berkurang. Tapi apa dia akan kesepian? Sepertinya Thealah yang akan kesepian.

Jaga dirimu, peri gila. Kau tidak akan bisa menemukan lawan bicara yang sama suka mengumpatnya seperti diriku.

Lalu Zeta...

Thea ingat bagaimana dia mengubah Zeta dari malaikat yang pemalu menjadi biang onar juga sepertinya. Dulu Zeta hanya duduk diam di belakang sekolah, mencoba mengingat kehidupannya sebelum menjadi malaikat.

Zeta, kuharap kau tidak kembali menjadi dirimu yang pemurung. Terima kasih sudah menjagaku selama ini. Tanpa kau, aku akan lebih kacau lagi.

Dan Carlo...

Sampai sekarang, Thea masih belum berani mengucap maaf pada Carlo karena sudah meninggalkannya di hari pernikahan mereka.

Carlo, maafkan aku sudah menghancurkan hidupmu dan hubunganmu dengan keluargamu. Aku tahu, sampai kapanpun kau tak akan bisa memaafkan kesalah besar yang kuperbuat itu.

Seperti gradasi warna, tampilan gambar di dalam ingatan Thea perlahan memudar, hingga akhirnya hanya tersisa kegelapan total dan Thea tak sanggup membuka matanya lagi.

"Thea! Thea, jawab aku!"

Di seberang Thea, Gusta masih menangis. Tubuhnya bersandar pada dinding yang dibangun Serena. Tangannya terus mencoba menepuk dinding itu tanpa henti dan ia meracau nama Thea, walaupun ia tahu gadis yang dipanggilnya tidak bisa lagi mendengarnya.

Ada serpihan bulu sayap terlepas dari punggung Thea. Persis seperti bulu angsa yang keluar dari bantal yang robek. Percikan cahaya bergerak dari tubuh Thea, mirip kerumunan kunang-kunang. Cahaya itu bergerumul dulu di atas tubuh Isla sebelum merasuki tubuh itu.

Sayap Thea telah rontok, sihirnya pun telah meninggalkan tubuhnya—tandanya Thea sudah selesai melakukan pengorbanan sucinya.

Dengan sisa-sisa waktu yang dimilikinya, Gusta mencoba berpegangan pada memori yang dimilikinya tentang Thea. Memorinya saat melihat Thea dengan gaun pengantinnya, saat Thea menciumnya di Bar Omora, saat Thea membiarkan dirinya mengobatinya di Lapangan Badra, saat Thea tertidur dipelukannya, saat ia membuatkan gadis itu sarapan dan mendengar cerita lucunya, juga saat ia berhasil mencium gadis itu di depan perapian. Ia terus mengulanginya seperti lagu yang diputar ulang tanpa henti.

Gusta menolak percaya bahwa ia perlahan mulai kehilangan detail ingatannya. Ia tak ingat lagi bagaimana bentuk gaun pengantin Thea, ia tak ingat lagi apa yang dikatakan Thea soal peri rumahnya, ia tak ingat lagi tato apa yang dimiliki Thea—hingga ia tak bisa lagi mengingat wajah Thea.

Akibat mencoba melawan ingatannya yang memudar, Gusta pun jatuh tak sadarkan diri.

Di Casthea, Zeta yang baru melangkah keluar sidang di hadapan Cupid Committee tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia bertanya-tanya dalam hati, kenapa dari tadi ia tak sabar untuk kembali ke Dimia? Bukankah urusannya sudah selesai di sana? Memangnya siapa yang harus ia jemput di Dimia?

Di rumah mungil itu, Cato tiba-tiba berhenti mengaduk supnya. Ia melihat ulang semua makanan yang baru saja dimasak olehnya—semangkuk besar salad, seekor ayam kalkun panggang, sepiring besar pasta, puding coklat dan es krim. Ia meletakkan sendok kayunya dan menatap jauh keluar—mencoba mengingat-ingat untuk siapa ia memasak sebanyak itu? Dia kan sudah keluar dari Kastil Caera dan hanya tinggal sendiri.

Di balkon salah satu kamar di Kastil Caera, Carlo sedang duduk memandangi Qilda, kuda Pegasusnya. Ia berjalan perlahan dan menyentuh lembut kepala kudanya. Tiba-tiba sebuah sengatan menyerang di otaknya. Entah kenapa ia merasa ada seorang lagi yang bisa menyentuh kudanya. Siapa? Itu tidak mungkin, ia bersikeras. Qilda tak bisa disentuh oleh siapapun selain dirinya. Tapi ia tetap merasa familiar dengan seseorang yang melakukan hal yang sama selain dirinya.

Gusta, Zeta, Cato, dan Carlo tidak ingat kalau pernah ada malaikat ceroboh bernama Thea yang sempat mengisi hidup mereka. Thea sudah terhapus dari ingatan mereka semua.


*masih nangis seember...*

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang